Sabtu, 31 Desember 2011

Tentangku, Jika Kau Ingin Tahu II

Sedikit saja. Kali ini benar-benar sedikit saja tentangku ^_^

Namaku Yuliana Setia Rahayu, panggilanku Yuli. Lahir di kelurahan Dorongao, kota Dompu, pada 10 Januari 1991. Hobi besarku sejak kecil adalah membaca. Cita-citaku dulu menjadi guru, jika ditanya sekarang, entah mau jadi apa. Aku tak punya banyak prestasi, tapi aku mulai suka menulis, apalagi beberapa waktu terakhir, ada motivasi besar menjadi penulis. Akhirnya kubuat nama pena untuk tulisan-tulisanku nanti, Yuli Ramahayu. Semoga bisa kucoretkan pada karya-karyaku.

Di SDku, SD Darussalam, selama 1996-2002, aku hanya pernah menjadi finalis nasyid SD Ma'arif se-Surabaya bersama timku. Aku menjadi 3 dari siswa di sekolahku yang diterima di SMP Negeri. Sebuah prestasi di zaman itu.

Di SMPku, SMPN 38 Surabaya, aku hanya beberapa kali dikirim sebagai peserta lomba yang tak pernah menang, Olimpiade IPA Nasional, Olimpiade Matematika Se-Jawa Timur, dan Lomba Pidato SMP Negeri Se-Surabaya. Aku banyak lupa, kemungkinan sih tak ada prestasi lain. Tapi di kelasku, 1E, kelas terbaik angkatan 2002-2003, aku punya nama di peingkat 3 besar. Setelahnya, aku masuk kelas unggulan, 2A dan 3A. Disana aku bersaing bolak-balik di 3 besar bersama 3 sahabatku. Di kelas ini, aku selalu masuk 3 besar juara paralel sekolah. Di kelulusan, di UNAS tahun 2005, aku menjadi juara 3 dengan nilai ujian tertinggi. Prestasi yang lumayan kan? hehehe.

Saat menjajaki dunia SMA, prestasi belajarku menurun, mungkin ini karena tingkat minder yang luar biasa tinggi ketika harus belajar di SMAN 1 Surabaya. Seperti mindernya Raju Rastogi di film 3 idiots, lama-lama aku tak pandai lagi di sekolah. Bukan aku membenarkan sikapku, tapi aku benar-benar tidak mengerti mengapa aku tidak bisa bersaing lagi dalam prestasi sekolah. Teman-temanku yang borjuis dan pintar, benar-benar mebuatku minder. Bagaimana tidak, SMPku yang pinggiran, tentu tak sepadan dengan lulusan SMPN 1, SMPN 2, SMPN 3, dan SMP-SMP lainnya yang favorit di Surabaya. Aku menyesali masa-masa minder itu, aku menyesali sikap bodohku yang merasa takut berlebihan. Padahal siapapun boleh hidup dengan baik, berhak maju dengan caranya masing-masing, dari manapun asal mereka.

Beruntunglah, Allah menggantikannya dengan hal lain. Untuk pertama kalinya, aku bangga menjadi aktivis yang mengenal dunia organisasi. Aku menjadi organisatoris yang aktif sejak mengenal SKI SMAN 1 Surabaya atau yang lebih dikenal dengan SKI_One. Disana aku mengasah semua kemampuan organisasiku. Disana aku menemukan tempat yang mengasyikkan, dengan belajar Islam lebih dalam, setelah di SMP sama sekali tak tersentuh pelajaran ruhiyah, aku punya banyak teman dan pengalaman.

Di tahun pertama, 2005-2006, meski tak ikut OPSKI (Orientasi Pemantapan Sie Kerohanian Islam) atau diklatnya anak-anak SKI_One, kakak-kakak kelas memberiku kesempatan masuk menjadi pengurus. Aku menjadi ketua bidang Buletin SKI_One. Selanjutnya di kelas dua, aku diangkat menjadi Koordinator Keputrian SKI_One 2006-2007. Aku masih berusaha memfokuskan perjuanganku dalam prestasi sekolah, tapi masih saja merasa tertinggal. Aku terus hanyut dalam organisasi, menjadi Ketua 1 KIR (Karya Ilmiah Remaja) SMAN 1 Surabaya tahun 2006-2007. Selanjutnya di kelas 3, aku dan demisioner kepengurusan SKI_One sebelumnya, masuk sebagai DPP (Dewan Pertimbangan dan Penasehat) atau sederhananya Dewan Syuro untuk kepengurusan selanjutnya.

Masa-masa SMA selalu menjadi masa yang indah kan? aku juga merasakannya. Kemampuan organisasiku berkembang baik. Jiwa Sosialku muncul dari berbagai kepanitiaan yang kujabati. Menjadi sekertaris, sie acara, atau sie-sie lain yang penting yang mengasah skillku. Aku menjadi yakin untuk memimpin rapat, berdiplomasi, me-loby-loby, sampai menemukan bakatku untuk memotivasi orang lain. Sayangnya, aku belum pernah dipercaya untuk mengurusi urusan keuangan. Bakatku untuk urusan satu itu belum terasah

Ternyata Allah lagi-lagi punya rencana lain, sesaat sebelum lulus SMA, aku ditunjuk menjadi bendahara karang taruna di kampungku. Urusannya pun bukan urusan mudah, aku dan ketua karang taruna harus keliling setiap bulan menarik iuran di rumah-rumah warga kampung. Itu berarti aku bertemu berbagai macam orang di kampung, dengan berbagai kisah mereka jika sedang ditagih membayar iuran. Namun hanya beberapa bulan menjabat, aku harus pindah ke kosku di Madura, untuk kuliah. Jadilah aku lengser dari jabatanku di karang taruna setelah pengumuman SNMPTN. Aku diterima di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) di program studi Ilmu Komunikasi.

Sejak awal kuliah, 2008 lalu, aku bertekad bulat memperbaiki prestasi akademikku. Allah meluluskannya. Perlahan tapi pasti semangat menuntut ilmu kembali merasukiku. Di kampus, aku jadi mahasiswa yang aktif secara akademik, juga aktif berorganisasi. Sungguh ini balasan Allah atas doa-doaku, memberiku daya untuk melakukan banyak aktivitas. Di semester pertama, aku fokus saja pada kuliah dan tugas, tidak tertarik untuk terjun dalam dunia organisasi. Namun di semester kedua, aku mulai memproyeksikan sedikit kemampuan dan skillku. Aku masuk menjadi penyiar di RASI 107,9 FM, Radio Komunikasi milik Prodi Ilmu Komunikasi. Selanjutnya aku mendaftar menjadi Asisten dosen, untuk dosen super disiplin bernama Drajat Wicaksono, yang sekarang sedang mengejar gelar doktornya di UGM. Selama 2 semester, banyak pengalaman luar biasa menjadi seorang Asisten. Sayangnya aku harus segera lengser ketika beliau berangkat studi lagi.

Kala itu, di sela menjadi penyiar dan asisten, aku di beri jabatan juga di LDK MKMI UTM sebagai anggota departeman PPSDM (Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia) 2009-2010, sekaligus menjabat bendahara umum BEM FISIB UTM di tahun yang sama. Biasanya di malam atau sore hari aku juga mengajar privat untuk anak SD. Jadi masa itu masa yang sungguh sibuk dan penuh tantangan. Banyak sekali aktivitas rapat dari pagi hingga malam. Banyak juga aktifitas menyenangkan, jalan-jalan, studi banding, seminar, workshop, rakernas, silatnas, dan kegiatan lain, baik dalam maupun luar kota. Termasuk karena aku ikut menjadi anggota IMIKI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia).

Ternyata begini nasib orang-orang berdinas, bisa keliling kemana-mana. Aku sampai ke kota impianku Jogja, bertandang ke Solo, Malang, Jember, Bali, Kediri, Tulungagung, hingga Jakarta. Itupun tak sekali dua kali. Impianku keliling Indonesia, sedikit demi sedikit terjawab juga. Berkat organisasi juga aku punya banyak teman dan tidak minder. Kelak aku akan mengunjungi teman-temanku nun jauh di Medan, Makassar,  Aceh, Padang, Semarang, Bandung, NTT dan Papua. Tahun-tahun ini tahun yang benar-benar mengasyikkan. Meski sibuk di organisasi, aku juga masih sempat lolos seleksi Mahasiwa Berprestasi hingga bisa ikut seleksi ke tingkat universitas, sayangnya aku tak juara. Aku hanya mendapat piagam dan hadiah untuk juara 3 Mahasiswa Berprestasi tingkat FISIB UTM 2009-2010 dan juara 1 Mahasiswa Berprestasi tingkat Prodi Ilmu Komunikasi di tahun yang sama. Ini juga salah satu dari sekian banyak impian yang dikabulkan Allah untukku.

Karena prestasiku yang baik, aku selalu mendapat beasiswa untuk IPK Tertinggi di Prodi. Alhamdulillah, ini juga mimpi yang tak pernah putus kuperjuangkan. Dengan ini, aku selalu termotvasi untuk memberikan yang terbaik dalam hidupku, aku bisa menabung untuk masa depanku, menyambung mimpi-mimpi yang lain. Untuk itu, meski kadang kurang total dalam menjalankan amanah, wujud syukurku pada Allah adalah dengan terus berjuang di LDK MKMI bersama saudara-saudara yang lain sebagai Bendahara Umum 2010-2011.

Begitulah perjalanan panjangku di dunia pendidikan dan organisasi, belum terlalu banyak prestasi. Sekarang aku hanya Dewan Syuro di LDK MKMI. Meski tak banyak pengalaman di dunia tulis menulis, aku juga ditunjuk saudara-saudaraku sebagai Ketua Harian FLP Bangkalan. Semoga bisa lebih banyak menimba ilmu dan mewujudkan prestasi.

Yuli Ramahayu,

Mojokerto, 1 Januari 2012


Tentangku, Jika kau Ingin tahu

Melanjutkan sedikit saja tentang profilku. Rencananya menjadi satu file saja di bagian nama kemarin, tapi ternyata malah menemukan artikel lain yang pas untuk dicantumkan. Sedikit saja, supaya aku lebih dikenal, hehehe.

Nama panjangku Yuliana Setia Rahayu. Di keluarga aku dikenal dengan nama Liana. Di kalangan teman aku dipanggil Yuli. Aku lahir di kota Dompu, kota yang disekelilingnya adalah gunung batu. Meskipun pedesaan, kota ini tak begitu asri pada musim kemarau. Sangat berdebu dan gersang. Namun di musim penghujan, akan sangat hijau dan sejuk. Air disana selalu dingin, sejak pagi, hingga malam. Itu jadi alasan tepat aku malas mandi, hihihi. Dari Surabaya, perjalanan ke Dompu ditempuh selama 36 jam menggunakan bus. Lama sekali ya? Tapi perjalanan ini akan sangat menyenangkan dengan berbagai macam view. Nanti akan kuceritakan pemandangannya di lain case.
Ini wilayah Donggo, Bima, NTB. Tapi beginilah kira-kira Dompu jika gersang. Masih satu kepulauan.
Meski sudah ada RSUD di Dompu, ibuku melahirkan ke-5 anaknya di rumah, tapi dengan bantuan dokter atau bidan. Keren banget ibuku, zaman susah aja udah bisa panggil dokter ke rumah. Jadilah kami berlima memang anak gunung batu asli. Rumahku memang tepat berada di bawah kaki gunung batu, sebuah gunung mati di kelurahan Dorongao. Dorongao sendiri artinya gunung kucing. Karena di sana banyak sekali berkeliran kucing, sampai-sampai nama kelurahan tempat tinggalku disebut gunung kucing. Mungkin ini juga yang melatarbelakangi aku dan keempat saudaraku ditambah ibu, sangat menggilai kucing. Kecuali bapak, kami sekeluarga selalu bisa akrab dengan kucing-kucing peliharaan kami.
Keempat saudaraku dengan kucing peliharaan kami


Ibuku, si bungsu, dan kucing-kucing tersayang
Dorongao yang kupotret September 2011. Rumah sebelah kanan itu dulunya milik orang tuaku.
Akupun termasuk yang lahir di rumah, pada 10 Januari 1991. Tahun ini, tahun-tahun booming-nya Telenovela berjudul Sinha Moca (Little Missy) keluaran Brazil, yang di dalamnya ada sahabat si tokoh utama bernama Juliana. Gara-gara tuh film namaku keluarnya jadi Yuliana, meski ada sedikit perbedaan ejaan. Tahun-tahun itu yang namanya televisi juga belum merajalela seperti sekarang. Hanya ada satu dua rumah saja yang memilikinya, apalagi untuk ukuran desa. Alhamdulillah keluargaku yang termasuk memilikinya. Eits, tapi tak selalu menguntungkan ya. Saking booming-nya film Little Missy ini, setiap hari tetangga ibuku berjubel di rumah untuk melihatnya. Tak sampai disitu, ibuku jadi sering kehilangan isi jemurannya, karena kalau pulang, ibu-ibu tetangga suka bawa oleh-oleh (seperti yang dituturkan ibuku).

Di usiaku yang ke-4, aku masuk sekolah TK, nama TKnya seingatku TK Bhayangkara, di kota Dompu. Namun tak sampai selesai aku di sana, karena aku memang anak nakal yang tak mau pergi sekolah. Bahkan pernah suatu ketika selama 1 bulan aku tak masuk. Kenakalanku tak sampai disitu, di sekolah aku termasuk jahil. Pernah sekali kubuat menangis temanku karena iseng menekuk jari kelingkingnya. Maksudku ingin uji coba, sakit atau tidak sih, kebiasaan orang-orang melipat dan dan membunyikan tulang-tulang jarinya. Walhasil uang sakuku yang Rp 50,- kupersembahkan untuk mendiamkan tangis temanku, hehehe. Kalau diingat-ingat temanku itu mata duitan ya, mudah aja disogok. Kenakalan lainnya juga terjadi ketika bersama-sama teman lain membohongi anak baru yang culun banget. Ceritanya, si anak baru suka sekali memenuhi buku gambarnya dengan corat-coret abstrak yang tak terdefinisi, sampai habis lembarannya untuk hari berikutnya. Aku dan teman-temanku malah menyemangati dan berbohong kalau gambarnya bagus. padahal sebenarnya kami sedang mengoloknya. Wah, nakal sekali aku.

Tak sampai setahun di sekolah TK, aku diajak bapakku berkunjung ke rumah nenek di Surabaya dan tak pernah kembali ke tanah kelahiranku lagi. Aku tinggal dan besar di Surabaya sampai usiaku yang sekarang. Sesekali saja aku berlibur, tapi tak pernah benar-benar menetap di sana. Ada sejarah panjang tentang kepindahanku, lain waktu akan kuceritakan. Habislah masa kanakku di tanah Jawa, di kota metropolitan yang megah. Oleh bule' yang mengasuhku, adik bungsu bapak, aku di sekolahkan di SD Darussalam. Sebuah SD di dalam perkampungan Pesapen yang berbasis NU. Disini aku belajar tak hanya ilmu umum, tapi juga ilmu agama. Sekolahku ini meski di kota termasuk sekolah yang kecil, tempatnya saja di dalam sebuah gang. Sekolah ini juga mulai sepi dan sedikit siswanya, tak seramai zamanku dulu. Kabar terakhir yang kudapat, sekolah ini hampir tutup. Hal ini terjadi mungkin karena pengurus yayasan dan gurunya banyak yang beralih ke sekolah-sekolah negeri. Bahkan pernah kutemui wali kelas 1 ku yang sabar, pindah mengajar di SD Negeri. Seingatku dulu, guru-guruku kebanyakan memang tenaga honorer. Bahkan wali kelas enamku, bu Lika, pernah masuk surat kabar, sedang berdemo untuk kemudahan pengangkatan bagi-bagi guru-guru sekolah swasta. Nasib SDku jadi seperti kisah sekolahnya Ikal di Laskar Pelangi ya.

Meski kecil, guru-guru di sekolahku sangat hebat. Aku tak pernah lupa bagaimana guru-guru yang hebat itu sangat sabar mengajar, memberi tambahan pelajaran sampai tambahan uang jajan pada murid-muridnya. Masa sih? Ini berlaku hanya padaku lho, karena aku termasuk murid kesayangan ibu-ibu guru. Pernah suatu ketika aku liburan kenaikan kelas 3, aku hendak liburan ke Dompu, untuk pertama kalinya setelah tak pernah bertemu ibuku, Bu Zahroh, wakil kepala sekolahku, memberiku uang jajan dengan menangis dan mencium pipiku sambil berpesan, "hati-hati di jalan ya." Aku yang masih ingusan hanya mengangguk saja. Waktu itupun bu Zahroh yang sebenarnya arah rumahnya berlawanan dengan rumahku mengantarku pulang, karena khawatir. Memang, di antara teman-temanku, hanya aku yang rumahnya paling jauh dan kala itu sedang terjadi kerusuhan besar. Ingatkan masa reformasi 1998? Dimana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana orang merasa khawatir dan tidak tenang. Pun Surabaya, di kampung-kampung sering terjadi perampokan di toko-toko warga keturunan Tionghoa, sekan-akan kejahatan menjadi halal sejak itu.

Lain bu Zahroh, lain Bu Min. Beliau wali kelasku di kelas 3 dan 4. Dialah ibu keduaku. Setiap kali pulang sekolah, beliau selalu menggandeng tanganku sampai persimpangan jalan antara rumahku dengan rumah beliau. Orang-orang yang selalu kulewati rumahnya, berangkat dan pulang sekolah sampai mengira aku adalah anak beliau. Selain pintar, aku juga tidak pernah nakal di sekolah. Mungkin karena di negeri orang, aku tak pernah senakal masa TKku dulu. Terakhir kali, aku bertemu bu Min di mall dekat rumahku, beliau meski terlihat lebih tua, masih cantik dan sebaik dulu.

Di kelas 4, aku sangat suka pelajaran bahasa Inggris yang diajar guru cantik bernama bu Atik Selain cantik beliau pintar sekali, namun sedikit galak. Bahasa Inggris pertama kali dikenalkan padaku pada kelas 4, bersamaan dengan pelajaran komputer, yang waktu itu masih dikenalkan pada program DOS, menyimpan data menggunakan disket yang sangat lebar. Aku sangat pandai dalam dua pelajaran ini, makanya aku sangat menyukainya. Aku ingat bagaimana sayangnya guru bahasa Inggrisku padaku. Kala mengajar di kelas 4, di akhir triwulan, guruku itu sudah hamil tua dan cuti. Tahun berikutnya bahasa Inggris di ajar guru baru yang lebih cantik lagi, namanya miss Ana. Beliau tidak mau dipanggil ibu atau mom, karena masih muda dan belum menikah katanya. Setelah aku lulus, beberapa tahun mengajar, beliau menikah dengan kepala sekolahku, sebagai istri kedua.

Entah kapan pak Rokhim wafat, aku lupa. Tapi kenangannya sebagai guru agama di kelas 4 dan 5 sangat berkesan. Beliau sangat lucu, dan sangat suka menggangguku. Entah rayuan macam apa saja yang beliau lancarkan padaku, aku tak terlalu ingat, tapi beliau tak pernah lupa menyebut namaku ketika mengajar.

Di SD dulu, yang paling aku suka adalah pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan fiqih. Karena itulah, untuk pelajaran-pelajaran itu nilaiku paling bagus di antara pelajaran lainnya. Pelajaran paling menjemukan adalah ke-NU-an. Pelajaran satu itu diajar langsung oleh kepala sekolahku yang menjadi salah satu pengurus inti PCNU Surabaya kala itu. Pelajaran ini berisi sejarah NU, dari tokoh, tanggal-tanggal, hingga badan organisasi naungan NU yang berjibun. Di kelasku, hanya Umar yang menguasainya, nilai ujiannya tertinggi, 65, semaksimal itulah perjuangan kelasku untuk pelajaran ini. Di SD dulu, aku tak pernah keluar dari 4 besar, paling sering di ranking 2 dan 3. Juara umumnya adalah temanku yang berambut pirang, Umar Al-Faruq yang cerdas. Terakhir bertemu, dia penghuni SMAN 2 Surabaya, salah satu SMA Favorit di Surabaya.

Prestasiku di SD tak banyak, juara menggambar, juara lomba Agustus-an sekolah, dirigen sekolah untuk upacara, menjadi finalis mewakili sekolah dalam lomba nasyid SD Ma'arif se-Surabaya, dan mungkin ada sedikit prestasi lain yang tak bisa lagi kuingat. Satu hal, menjadi murid kesayangan setiap guru di sana adalah juga prestasi kebanggaan yang tak terlupa.

Aku rindu guru-guru SDku, suatu saat aku ingin bertemu guru-guruku lagi. Juga melihat sekolah dan teman-teman SD yang rata-rata rumahnya tak jauh dari sana.

Ini masih profil di SD ya. Perjalanan masih panjang ya ternyata. Aku curhat seperti anak kemarin sore. Tapi biarlah, aku sedang ingin menulis ini. Mengenang masa kecilku.

Kamis, 29 Desember 2011

Esensi sebuah nama: Yuli

Setiap orang selalu ingin mengenalkan dirinya, atau membuat orang lain mengenalnya. Bahkan belakangan sering muncul sindrom eksistensi diri; individu ingin dikenal, didengar, diperhatikan, dan mendapat pujian. Seringkali kemunculan sindrom ini tidak berimbang, karena hanya teraktual pada dirinya, tanpa melakukan feedback untuk memperhatikan dan juga mengenali orang lain. I hope I'm not like it.

Aku juga ingin mengenalkan diriku, dan sedikit mengingat-ingat prestasiku yang tidak pernah aku appresiasi. Baru kali ini aku coba-coba mengingatnya kembali sambil membuka piagam-piagam zaman sekolah dulu. Ternyata ada juga, semangat itu, semangat anak sekolahan.

Nama lengkapku Yuliana Setia Rahayu. Nama yang mudah dieja, tapi terkadang masih salah dalam penulisan. Kesalahan paling sering pada 'Setia' yang ditulis 'Setya'. Kata setia memang kurang lazim untuk nama, tapi ejaannya sempurna kan? sesuai EYD, hehehe. Kesalahan fatal yang pernah dialami namaku, ketika ditulis menjadi Yuliana Setianingsih, atau Yulia Setiana Rahayu. Ini akibat kalau tak benar-benar terkenal ya, huft.

Di usiaku yang sekarang, aku paling suka dipanggil Yuli. Jangan Yuliana, aku merasa asing dengan nama itu. Nama kecilku Liana. Panggilan dari seluruh keluarga dan tetangga. Nama panggilan yang indah, namun selalu asing jika disebut oleh orang yang tak biasa memanggilku dengan nama itu. Setiap kenaikan jenjang pendidikan, aku selalu berusaha mengubah panggilan Yuli dengan Liana. Tapi sayang, teman-temanku lebih mudah memanggilku Yuli. Jika dipikir-pikir, nanti aku juga yang akan bingung, punya banyak nama di antara teman-temanku, jangan-jangan nanti akan sulit mengidentifikasi diriku. Sekarang aku malah begitu mencintai nama itu. Kata Yuli dan Rahayu, adalah dua yang paling kusenangi dari namaku.

Nama panjangku itu, pernah kutanyakan artinya pada ibuku. Waktu itu aku sudah duduk di bangku SMA, karena baru pada usia itu aku bisa sedikit dekat dengan ayah dan ibuku. Sebelumnya, tepatnya di kelas 4 SD, ketika sudah ada pelajaran bahasa daerah di sekolah, aku tahu arti kata "Rahayu" dari buku Pepak Basa Jawa, artinya keselamatan, ucapan selamat datang. Setelah kukonfirmasi, memang bapak yang asli Jawa yang menyandingkannya dengan kata Yuliana Setia. Nama Yuliana sendiri, inspirasinya adalah sebuah Telenovela tahun '90-an (kalau tidak salah, kata ibuku judulnya Little Miss) yang tokoh protagonisnya bernama Yuliana. Kata ibuku, dia adalah tokoh yang cantik, baik hati, pintar dan sabar. Jadilah nama itu diambilnya untukku. Ah ibu, untungnya dulu sinetron belum booming, bisa-bisa namaku jadi Binar, Bening, Berlian, atau bahkan Amira.

Ketika mendalami Islam, aku pernah bersedih atas namaku. Namaku tidak diambil dari bahasa Al Qur'an. Nama yang demikian akan dipanggil oleh Allah di urutan terakhir, karena pelafalannya berbeda dengan bahasa Kalamullah. Sampai pernah terbesit dalam benakku untuk berganti nama. Tapi sungguh, nama ini adalah doa paling kekal yang dipanjatkan kedua orang tuaku. Aku harus bangga dengannya. Kelak aku akan memperbaikinya pada keturunan-keturunanku.

Soal nama, ternyata masih panjang. Ada nama-nama lain yang pernah kubuat sebagai identitasku. Saking banyaknya sampai aku bingung, mana yang harus aku kenalkan sebagai nama penaku nanti, jika suatu saat aku benar-benar menjadi penulis. Yah, nama pena. Kata orang kita perlu dikenal dengan nama yang menjual. Tapi bukan jual nama ya.

Nama pertama yang selalu kucoretkan pada lembar-lembar karyaku adalah "U_Ly" yang kata teman-temanku keren. Sebenarnya ini menyalahi ejaan dan sok Inggris. Pelafalannya menggunakan bahasa inggris campuran. loh, memang ada? Ada. Ya nama itu. "U" di eja Yu, dan "Ly" di eja Li. bacaanya tetap Yuli. Tapi harusnya jika memang memakai ejaan inggris, membacanya Yu-Lay kan? Begitulah bahasa gaul era milenium.

Nama kedua Liliput. Nama ini masih terus kupakai sebagai ID jika sedang bermain game. Game apapun, selalu kumasuki dengan nama ini. Nama yang gamers kan?

Nama selanjutnya, Qathrun Yuli Nada. Aku paling suka nama ini. Qathrunnada adalah bahasa Arab yang artinya setetes embun. Sebenarnya aku merencanakan nama ini untuk nama anakku nanti. Tapi kok lama sekali, jadi kupakai saja, hohoho. Aku menemukan nama ini ketika sedang membuka-buka buku Kumpulan Nama Anak Islami, yang dibeli bule'ku untuk mencarikan nama anaknya. Di ID ini aku sisipkan nama Yuli, karena seperti yang kubilang, aku benar-benar menyukainya. Nama ini adalah nama kedua untuk akun facebookku, setelah nama asliku.

Nama keberapakah Ummi Yuli Hurairah? Nama ini muncul akibat kegandrunganku pada kucing. Hewan satu itu memang sangat menggemaskan. Dimanapun aku menemui mereka, aku selalu menyapa dan mengajak mereka bermain. Apalagi kucing-kucing kecil yang baru lahir. Mereka sangat lucu, lincah, dan menggemaskan. Kebiasaan ini membuatku mendapat julukan Ummi Hurairah dari beberapa saudara dan sahabat. Akhirnya ini memotivasiku untuk mengubah nama akunku setelah Yuli Yang Baru dan Yuli Lebih Baru menjadi Ummi Yuli Hurairah. Wah, gandrung sekali aku gonta-ganti nama akun ya. Ini mungkin karena aku yang gampang sekali bosan.

Nama terakhir -semoga aku tak ingin membuat nama lagi-, adalah Yuli Ramahayu. Nama ini akhirnya menjadi nama penaku, arena paling dekat dengan nama asliku. Sebenarnya cukup dengan Yuli Rahayu, tapi ternyata nama ini sangat banyak, angat pasaran, hehehe. Jadilah Kusisipi kata Rama disana, yagn jika digabung dengan namaku menjadi Yuli Ramah-ayu. Sedikit doa untuk diriku sendiri.

Yuli Ramahayu, Telang, 301211

Sudah, itu saja soal namaku. Tapi daripada bacaan di atas tiada manfaatnya, aku copaskan sebuah artikel ya:

Oleh: Anna Mariani Kartasasmita, SH. MPsi. dipostkan di http://daruljannah.blogdetik.com/2008/05/09/pengaruh-nama-pada-anak/

Pengaruh Nama pada Anak

Para ahli sosiologi berpendapat bahwa nama yang berikan orangtua kepada anaknya akan mempengaruhi kepribadian, kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana cara orang menilai diri si pemilik nama.

Banyak alasan dan pertimbangan para orangtua dalam memilihkan nama anak. Ada yang menyukai anaknya memiliki nama yang unik dan tidak ‘pasaran’. Mungkin mereka tidak suka membayangkan ketika nama anaknya dipanggil di depan kelas, ternyata ada lima orang anak yang maju karena kebetulan namanya sama. Ada yang lebih suka anaknya memiliki nama yang singkat dan mudah diingat. Orangtua seperti ini akan beralasan, “Toh nanti anakku akan dipanggil dengan nama bapaknya di belakang namanya”. Walaupun pernah kejadian orang Indonesia yang diharuskan mengisi suatu formulir di negara Eropa agak kebingungan karena diharuskan mengisi kolom nama keluarga. Padahal sebagaimana juga kebanyakan orang Indonesia, nama yang ada di kartu indentitasnya hanya nama tunggal, tanpa nama keluarga atau bin/binti.

Beberapa orangtua lain memilihkan nama yang megah untuk buah hati mereka. Sementara bagi kalangan tertentu ada kepercayaan jika anak ‘keberatan nama’ nanti bisa sakit-sakitan. Sebagian orang ada yang menganggap nama sebagai sesuatu yang biasa, sekedar identitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ada lagi yang memilihkan nama untuk anaknya berdasarkan rasa penghargaan terhadap seseorang yang dianggap telah berjasa atau dikagumi. “As a tribute to” demikian alasannya.

Sebagai orangtua, kita perlu tahu makna dari sebuah nama dan mempertimbangkan yang terbaik untuk anak kita. Bayangkan bahwa anak kita akan menyandang nama tersebut sejak tertulis di akte kelahiran, hingga di hari akhir nanti.

Bagi umat muslim, nama adalah doa yang berisi harapan masa depan si pemilik nama. Para calon orang tua yang peduli tidak hanya berusaha memilih nama yang indah bagi anaknya, tapi juga nama yang memiliki arti yang baik dan memberikan dampak atau sugesti kebaikan bagi anak. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan beberapa hal penting tentang pemberian nama kepada anak.

Menurut beliau kita para orangtua hendaknya:

1. Memberikan nama segera setelah bayi dilahirkan. Lamanya berkisar antara sehari hingga tujuh hari setelah dilahirkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Tadi malam telah lahir seorang anakku. Kemudian aku menamakannya dengan nama Abu Ibrahim.” (Muslim).

Dari Ashhabus-Sunan dari Samirah, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan (binatang) baginya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran)nya, diberi nama, dan dicukur kepalanya pada hari itu.”

2. Memperhatikan petunjuk pemberian nama, dengan mengatahui nama-nama yang disukai dan dibenci. Ada pun nama-nama yang dianjurkan Rasulullah saw. adalah:

Nama-nama yang baik dan indah. Rasulullah saw. menganjurk, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nam bapak-bapak kamu sekalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kamu sekalian“.

* Nama-nama yang paling disukai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman.

* Nama-nama para nabi seperti Muhammad, Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain.

Sedangkan nama-nama yang sebaiknya dihindari adalah:

* Nama-nama yang dapat mengotori kehormatan, menjadi bahan celaan atau cemoohan orang.

* Nama yang berasal dari kata-kata yang mengandung makna pesimis atau negatif.

* Nama-nama yang khusus bagi Allah swt. seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan lain-lain.

Pengaruh nama pada anak:

Orangtua seharusnya berusaha memberikan sebutan nama yang baik, indah dan disenangi anak, karena nama seperti itu dapat membuat mereka memiliki kepribadian yang baik, memumbuhkan rasa cinta dan menghormati diri sendiri. Kemudian mereka kelak akan terbiasa dengan akhlak yang mulia saat berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya.

Anak juga perlu mengetahui dan paham tentang arti namanya. Pemahaman yang baik terhadap nama mereka akan menimbulkan perasaan memiliki, perasaan nyaman, bangga dan perasaan bahwa dirinya berharga.

Bagi lingkungan keluarga, adalah hal yang penting untuk menjaga agar nama anak-anak mereka disebut dan diucapkan dengan baik pula. Sebab ada kebiasaan dalam masyarakat kita yang suka mengubah nama anak dengan panggilan, julukan, atau nama kecil. Sayangnya nama panggilan ini terkadang malah mengacaukan nama aslinya. Nama panggilan ini kadang selain tidak bermakna kebaikan juga bisa mengandung pelecehan. Hal ini kadang terjadi karena nama anak terlalu sulit dilafalkan, baik oleh orang-orang disekitarnya bahkan bagi sang anak sendiri.

Nama yang terdiri dari tiga suku kata atau lebih akan membuat orang menyingkat nama tersebut menjadi satu atau dua suku kata. Misalnya Muthmainah akan disingkat menjadi Muti atau Ina. Sedangkan nama yang memiliki huruf ‘R’ biasanya akan lebih sulit dilafalkan anak yang cenderung cedal pada usia balita. Maka nama-nama seperti Rofiq (yang artinya kawan akrab) akan dilafalkan menjadi Opik, nama Raudah (taman) dilafalkan menjadi Auda.

Nama yang unik dan berbeda apalagi megah, mungkin memiliki keuntungan tersendiri. Namun nama yang demikian dapat menyebabkan beberapa masalah. Nama yang sulit diucapkan dapat membuat orang-orang sering salah mengucapkan atau menuliskannya. Ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering memberikan penilaian negatif pada seseorang yang memiliki nama yang aneh atau tidak biasa.

Dr. Albert Mehrabian, PhD. melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah nama mengubah persepsi orang lain tentang moral, keceriaan, kesuksesan, bahkan maskulinitas dan feminitas. Dalam pergaulan anak yang memiliki nama yang tidak biasa mungkin akan mengalami masa-masa diledek atau diganggu oleh teman-temannya karena namanya dianggap aneh. Pernah mendengar ada seseorang yang bernama Rahayu ternyata seorang laki-laki?

Jika ingin menamai anak dengan nama orang lain, ada baiknya memilih nama orang yang sudah meninggal dunia dan telah terbukti kebaikannya. Jika orang tersebut masih hidup, dikuatirkan suatu saat orang tersebut berubah atau mengalami kehidupan yang tercela. Sudah banyak contoh orang-orang yang pada sebagian hidupnya dianggap sebagai orang besar, ternyata di kemudian hari atau di akhir hayatnya digolongkan sebagai orang yang banyak dicela masyarakat. Kita harus menjaga jangan sampai anak kita menanggung malu karena suatu saat dirinya diasosiasikan dengan orang yang tidak baik.

Beruntunglah kita, karena di Indonesia nama-nama Islami sangat biasa dan banyak. Sehingga tidak ada alasan merasa malu atau aneh memiliki nama yang Islami. Hanya saja mungkin dari segi kepraktisan perlu dipertimbangkan nama anak yang cukup mudah diucapkan, tidak terlalu pasaran tapi tidak aneh, dan sebuah nama yang akan disandang anak kita dengan bangga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa nanti. Wallahu alam.

Sumber: Dakwatuna

Muhasabah Dini Hari


Malam memang waktu yang istimewa. Di tengah meredanya aktifitas manusia, ketika setiap manusia mulai merebahkan diri mengambil waktu istirahat, disanalah instopeksi demi instropeksi mulai menjalari pikiran manusia. Apa-apa yang terjadi pagi hingga sore tadi terbayang-bayang dalam ingatan, dan mulailah manusia menjelajahi kehidupannya, menelaah yang telah terjadi dan yang seharusnya terjadi, kemudiaan merencanakan hari esok yang lebih baik. Sesibuk dan sepenat apapun manusia itu, selalu ada saat-saat dimana kenangan demi kenangan kembali dimunculkan untuk dijadikan pelajaran untuk menyongsong hari berikutnya.

Pun bagiku. Malam menjadi istimewa di tengah keheningannya yang mendamaikan. Hanya bisik-bisik alam yang menggema. Suara hewan-hewan malam, desiran angin, gemerisik daun, dan terkadang suara aliran air di parit-parit kecil, menciptakan harmoni alam yang menyenangkan. Seperti mendengar musik-musik instrumen khas gamelan, lembut dan meresap ke dalam sanubari.

Malam ini aku sedang bersemangat menulis. Karena tidak berbakat, aku berniat hanya menuliskan kisah-kisah kecil yang pernah kualami dalam hidupku. Namun entah mengapa, kisah itu menjadi panjang dan membosankan. Jika itu kusebut catatan, orang pasti akan malas membacanya. Maka kuputuskan untuk menghentikannya, dan semoga bisa kulanjutkan menjadi sebuah cerpen atau bahkan novel nantinya. Ah impianku, terlalu melambung kurasa.

Jadi malam ini, tidak ada kisah, hanya kemudian ketikan tanganku di tengah kelegaan hatiku menumpahkan semangatku, menuliskan sebuah tulisan yang mungkin hanya kidung pengantar tidur yang membosankan. Aku mengantuk, namun esok, aku harus kembali meninggalkan rumah dan berjalan dalam kesendirian lagi. Jadi aku masih ingin mendengarkan suara kerinduanku pada rumah ini, sampai aku puas melepaskannya esok hari. Sesekali, kuingat-ingat lagi perjalan hari ini, pantaskah aku untuk hari ini? Dan layakkah aku untuk esok hari?

Aku bahkan tak pernah begitu rutin setiap malam berdoa sebelum tidurku, bahkan meminta pada Tuhan, untuk menghidupkanku esok hari. Tapi Allah, Rabb Maha Agung, begitu asih memberiku sehari lagi esoknya, memberiku kesempatan lagi untuk memperbaiki diri, hingga kelak aku layak berpulang padaNya, dengan amalan sholeh yang banyak. Demikian pula esoknya, esoknya, hingga hari ini, aku masih memiliki usia yang dengannya aku bisa melihat orang-orang yang kusayangi, mendengar mereka menyayangiku, merasakan aku begitu takut untuk kehilangan mereka. Namun apakah aku sudah memanfaatkannya? Pertanyaan retoris kurasa. Aku malu untuk menjawabnya. Jika berani aku menghitungnya malam ini, tentu sudah kutemukan ketimpangan , bahwa kebaikanku tak lebih banyak dari keburukanku.

Namun kusyukuri benar hari ini, melihat wajah-wajah orang-orang yang kusayangi, masih menatapku dengan asih. Masih mampu kubersamai mereka, dan sedikit membuatku berarti di tengah kehidupan mereka, meski kuyakin, bahwa terkadang luka-luka pernah kugoreskan pada mereka.  Aku telah menjdi anak yang baik hari ini, menjadi saudara yang menyenangkan hari ini, menjadi teman yang setia hari ini.

Alunan harmoni malam ini, menemani ingatan demi ingatan ketika pernah dalam hidupku aku tak miliki kuasa melihat senyum mereka, membagi cinta kasih dengan mereka, memberi kesenangan bagi mereka. Namun hari ini, tiada sesempurna ini, kecuali atas izin-Nya.
Alhamdulillah, atas rahmat-Mu, ya Rahiim..


Mojokerto, 27/11/11 00:25

Bagaimana Memperlakukan masalahmu


Luar biasa penat yang kurasa. Teramat merana rasanya terhimpit sebuah permasalahan hidup yang berat, tanpa ditemani seorang temanpun yang hendak mendengarkan.  Sudah pasti penuh bersesakan apa yang ada dalam pikiran. Berdesakan dan menciptakan gemuruh dalam hati yang seakan-akan menjadi sempit. Padahal secara medis, hati ini tetap saja seperti ukurannya semula. Yang terpikirkan sesaat adalah pergi. Melarikan diri dari semua permasalahan yang menghimpit. Seakan-akan semua itu menjadi solusi yang tepat, untuk membuatku lupa, pada penatku.

Seringkali itu benar,  out of the box.  Menarik diri dari kotak kehidupan yang biasa dijalani, kemudian melihat dengan jelas rupa kotak itu dari luar. Kadang itu bisa menampakkan seperti apa  sebenarnya cara kita memperlakukan diri kita di dalam kotak itu. Tapi tentu saja itu tidak mudah bagi sebagian besar orang. Seringkali kita lebih mengasihani diri, menangis meraung-raung menyesali masalah dalam hidup sendiri, menyesali kesalahan di belakang sana, merasa menjadi makhluk paling malang yang perlu dikasihani dan diperhatikan, daripada harus bersusah payah bangkit dan keluar dari masalah.  Terlebih jika masalah muncul ditengah-tengah kesibukan berbagai macam aktifitas, rasanya semua menjadi tiada artinya selain masalah yang sedang dihadapi. Alhasil, hak dan kewajiban yang lain harus rela dikorbankan dan dilalaikan juga.

Tapi aku ingin hal yang berbeda. Aku akan pilih jalan lain yang tak sama dengan paradigma pada umumnya. Mulanya akupun hanya seonggok gadis manja yang tersedu-sedu kala kepahitan hidup mengunjungiku. Namun waktu memberiku kesempatan untuk menjadi lebih bijaksana. Bukankah setiap orang pasti memiliki masalah. Setiap manusia tidak pernah benar-benar hanya melewati jalan tol yang katanya bebas hambatan, dalam hidupnya. Bahkan tol sekarangpun mengalami kemacetan dimana-mana. Adakalanya perlu melewati jalan tikus yang mempercepat perjalanan, atau jalan-jalan perbukitan yang indah yang viewnya tidak sedatar jalan tol.

Bukan hanya aku saja yang pantas dikasihani, banyak yang lebih berhak atas itu. Lagipula, tidak benar-benar ada yang akan mengsihaniku, karena aku terbiasa menikmati hidupku sendirian, tanpa merasa perlu membaginya dengan orang lain. Bukan aku angkuh dan merasa diriku kuat. Namun aku merasa tak berhak membebani perasaan orang lain dengan problematika hidupku, agar tak bertambah merasa bersalah, karena hanya mampu menyisakan cerita sedih hidupku dan tidak pernah benar-benar mampu membawa kebahagiaan bagi orang lain.

Masalah.  Apa kata itu benar-benar harus dipermasalahkan? Kuyakinkan betul-betul pada diriku bahwa setiap orang pernah, akan, dan pasti mengalaminya. Dan bukan hal yang aneh jika melihat sebagian orang mampu mengatasinya hingga happy ending. Semua, lagi-lagi, bergantung pada bagaimana kita memperlakukannya, bagaimana kita memikirkannya, di tempat mana kita meletakkannya dalam hati. Di tempat sebesar gelaskah, atau di telaga yang luas. Aku selalu percaya, bahwa kebahagiaan dan perasaan senang datang karena penciptaan kita. Pun rasa sedih, terluka, sakit, dan kecewa, datang karena pikiran kita yang membawanya masuk dalam aliran darah kita. Menjadi darah tinggi, hipertensi,stroke, bahkan serangan jantung.  Naudzubillah. Kuyakini prasangkaanku dengan sebuah hadits, “Prasangka Allah menurutkan prasangkaan hambanya

Semaian cinta Az- Zahra



Lagu Good bye days gubahan penyanyi cantik negeri sakura, Yui, mengalun lembut  di earphone yang kudengar. Lagu ini benar-benar salam perpisahan yang syahdu. Di balik jendela kamar kontrakanku, hujan yang tadinya telah reda kembali menyerbu deras tanah di pulau garam ini. Menambah syahdu suasana senja, yang dingin dan sederhana. Sesederhana rumah kontrakan dua kamar, dengan dua kamar mandi, satu ruang tamu dan satu ruang tengah ini. Sesederhana hidup keluarga kecil ini, 10 pasukan pencari ilmu yang luar biasa, yang begitu leluasa belajar di rumah kecil ini. Sesederhana hujan yang menyelimuti rumah ini dengan kesejukan.

Siapakah yang begitu menyukai hujan? Aku, dan seorang saudara kamar ini, pemilik akun facebook bernama Istana Hujan Cloudeve. Namun tak kan ada yang mencintainya lebih dari aku. Jika hujan datang, maka sebuah pesta sedang dimulai. Doa-doa terpanjat mengiringi rintik-rintik yang jatuh ke tanah. Doa paling mendalam sore ini, sore yang tak sengaja kuhabiskan di kontrakanku. Pagi tadi aku telat hampir dua jam ke kantor magangku, karena suatu kejadian mendesak atas kelalaianku hari ini. Maka kuputuskan untuk pulang ke rumah hijauku yang teduh. Aku ingin tidur, menikmati bagaimana kipas angin baling-baling yang selalu setia mendinginkan hawa di kamarku. Doa itu, adalah doa untuk kebahagiaan rumah ini, doa untuk keberkahan dan keselamatan bagi penghuni rumah ini. Doa untuk saling menguatkan, agar kelak, ketika aku harus benar-benar tinggalkan rumah ini, masih ada energi luar biasa untuk menjadi sebaik ketika aku bersaudara dengan anak-anak di rumah ini.

Sedang asyik menulis, beranjak maghrib, ketika adzan akan segera berkumandang, suara panggilan datang, “ayok maem Yul,” suara sang pemilik Istana hujan. Sesorean tadi dia mendedikasikan dirinya di dapur, memasak sayur yang telah kering. Sayang, katanya. Tapi sebenarnya tak sesederhana itu. Ia memasak dengan volume yang lebih dari yang sebenarnya dia dan adiknya butuhkan untuk makan malam mereka. Ia memasak untuk kami semua, delapan penghuni Az Zahra yang memang doyanmakan. Apalagi jika sudah melingkar bersama, sambil sesekali bersenda tawa, makanan demi makanan akan terus maju mengisi piring-piring yang hampir kosong. Sampai kami benar-benar puas menyelesaikan pembicaraan tentang persaudaraan senja itu. Sebenarnya kami bersepuluh. Senior cupu pecinta baking life sedang tak ada. Ia sedang menyelesaikan hari-hari magangnya. Lalu seorang anak nakal bernama Frida, yang telah menjahili saudaranya, memangkas pendek poni rambut saudara sekamarnya, juga belum kembali ke peraduan.  (mewakili dek Frida, maafkan kenakalannya ya dek Ven)

Suara Eva, ibu ketua kontrakan datang. “hm, ayok berbuka. Senangnya tadi dapat sms dari ibu koki yang udah siapin makanan.” “iya ini dek aku udah masak,” sahut si koki. Sedetik kemudian aku tulis percakapan penuh cinta itu. Percakapan singkat yang sarat makna persaudaraan. Siapa yang tak iri dengan itu? Siapa yang tak ingin bersaudara seperti itu?
“mbak Yuli kemana?” suara itu melanjutkan. Aku selalu tahu, betapa saudaraku, selalu menyenangkan hatiku  dengan kerinduannya padaku. Bukannya aku GR, tapi benar-benar, jika aku sesekali mampir ke kontrakan untuk sekedar me-liqo’i mereka, wajah-wajah itu menyimpan ribuan sayang untukku. Padahal kusadari betul, rasa sayangku tak sebesar itu pada mereka. Adanya hanya omelan-omelan ibu kepala rumah tangga yang sok tua mengatur ini itu di kontrakan. Tapi masa itu sudah lalu, aku sudah pensiun. Maafkan aku saudara-saudaraku, atas omelan-omelan itu.
Jadilah sore ini, buka puasa bersama mewarnai kontrakan ini dengan menu yang tak seberapa, sayur sop dengan tempe berselimut tepung buatan sang koki, bandeng presto khas Gresik yang selalu berasal dari Rizka, mahasiswa PGSD yang rumahnya justru di Lamongan -yang ini memang agak aneh, bukannya dek Ayu yang asli Gresik yang membawanya (ini maksudnya nyindir sekaligus nodong)- ditambah mentimun cantik hasil irisan dek Yunita (dikau memang cantik secantik timun itu, dan memang ngangenin karena sudah jadi cerewet). Menu yang begitu mewah dan mengenyangkan kami. Menjadi teringat kisah, ketika Rosulullah makan bersama sahabat-sahabatnya, meski makanan yang secara material jumlahnya sedikit, bisa menjadi cukup, mengenyangkan, dan bahkan berlebih. Memang tak pantas lingkaran ini disamakan dengan makan bersama Rosulullah yang mulia. Tapi itulah yang terasa, kenyang, senang, dan merasa menang hari ini, semoga berkah Allah, menyertai makanan-makanan kami.
Aku makan di sebelah Mirza yang pendiam. Tapi diam-diam, aku tahu makannya paling banyak. Hihihi.

“wah, sudah lama ya gak makan sama-sama kayak gini,” kataku di sela perjalanan dinner ini. “waahh,, mbak Yuli,” demikianlah koor jawaban membuatku tersenyum juga, karena kata mereka kemudian, mereka selalu melewatkan waktu makan dengan cara seperti ini, sayangnya memang ketika aku tidak ada.
Hal pentingnya adalah, sore ini ditutup dengan sholat berjamaah, tadarus, taujih, dan berfoto. Yah, berfoto termasuk dalam draft agenda penting pasukan narsis disini. Dengan beberapa upaya, akhirnya HP nokia X2 milik ibu ketua bisa mengabadikan kenarsisan az Zahra dengan menggunakan Timer.Termasuk sang fotografer amatir bisa ikut nampang yah.
Namun yang lebih penting dari ini, ketika kami saling mengingatkan tentang kehidupan. Tentang bagaimana kami memperlakukan masalah, ketika dimana kami meletakkan masalah. Berbagi rasa, berbagi cerita, di lingkaran kami yang selanjutnya. Evaluasi sederhana, yang singkat tentang kecintaan kami pada rumah kami. Rumah yang bukan kumpulan ibu-ibu PKK, namun kumpulan orang-orang hebat penggerak LBB Az Zahra. Motivasi dalam turut serta mencerdaskan bangsa (ini pesan UUD lho ya).

Pembicaraan penting selanjutnya, yang kemudian memberi ide luar biasa; ada program Pakai Rok Seharian, di hari Senin dan Kamis.

Ini tulisan tentang apa ya? Ini bukan fiksi.Tulisan ini tentang bagaimana aku, mengabadikan kenangan di rumah ini untuk kelak kubawa di masa depan, sebagai kenangan yang menguatkanku, bahwa aku pernah, memiliki saudara-saudara yang luar biasa ini, yang penuh cinta, yang saling pengertian, yang saling menguatkan. Sudah hampir habis masaku untuk menjadi penghuni rumah ini, menikmati kenangan demi kenangan di rumah ini. Bahkan sekarang, jarang aku luangkan waktu untuk berada disini mendengar suara-suara speaker masjid, suara-suara geluduk, suara tawa nenek lampir, dan suara-suara lainnya, yang begitu terngiang-ngiang ketika aku tiada disini.

Lagu perpisahan yang syahdu kuputar lagi,
Dakara ima ai ni yuku, sou kimetanda, Poketto no kono kyoku wo kimi ni kikasetai, Sotto boryumo wo agete tashikamete mitayo..
OH GOODBYE DAYS ima,Kawari ki ga suru, Kinou made ni SO LONG..
_Ada alasannya mengapa sekarang aku memutuskan untuk menemuimu, Aku ingin memperdengarkan padamu sepotong lagu dalam sakuku ini, Sambil pelan-pelan menaikkan suaranya, untuk memastikan semua baik-baik saja..
Sekarang, hari perpisahan, Aku tahu perasaan ini akan berubah, Sampai kemarin (hari-hari yang kami lalui terasa) begitu lama.._

Belum saatnya aku pergi, waktunya belum datang, maka aku masih disini saudaraku, untuk hidup dan tinggal beberapa saat lagi dengan kalian. Tiada yang lebih menyenangkan, dan lebih kurindukan. Semoga waktu tak segera mengambil kesempatan ini. Dan semoga kalian masih bisa bersabar denganku.

 Tulisan ini ditutup dengan memakan gorengan dan jemblem hasil sumbangan dek Rizka dan dek Ayu. Belum selesai, masih ada kalimat terakhir mereka yang begini;

Rizka: “uwes mbak, maemen, cek sampean tambah lemu” (udah mbak, makan saja, biar mbak tambah gemuk)
Ayu  : “mbak Yuli. loh nakndi wonge? Iki loh mbak tak ke’i jemblem, cek sampean podo mbek aku(mbak Yuli, loh kemana orangnya? Ini loh mbak aku kasih jemblem, biar sama denganku).
Aku  : “iya, biar sama-sama jadi jemblem kayak makanannya”

Hadeh, gawats…

Az  Zahra-Telang, Bangkalan
28 November 2011


Lagu Bidadari Kecil

di tulis oleh jiwa yang damai
Kutengok hati yang bergeming,
dalam nada-nada bisu
yang lantunkan bait demi bait perasaan,
dengan diam yang sunyi..
mencandai sepi dengan lirik-lirik romantika,
menyuarakan hati yang bersandar di keteduhan cinta,,

Aku jatuh cinta,
untuk sekali lagi..

Akulah bidadari itu,
yang lantunkan melodi-melodi rindu,
untuk kutitipkan lewat angin,
agar terhembus di padang tandus jiwamu..
Akulah bidadari itu,
yang ciptakan baris-baris nada,
dengan not-not cinta,
untuk kutitipkan pada pagi,
agar mengembun di lembah sunyi hatimu..
Akulah bidadari kecil,
yang diturunkan dari langit,
untuk menggubah lagu cinta, dan sayang
untuk menemani waktumu..

ayah, ibu..
lagu cintaku terus terlantun sejak tangis menjadi liriknya..

puisi picisan masa SMA,

8 Maret 2008

Rabu, 28 Desember 2011

Aku

mungkin lumpuh, mungkin tuli, tapi tak buta..
mungkin kesal, mungkin marah, tapi bukan benci..
mungkin sedih, mungkin terluka, tapi tidak meratapi..
mungkin cemburu, tanpa tapi, karena sayang, karena cinta..

gagal bukan salah,
gagal bukan tak berhasil,
gagal adalah tak punya daya untuk bangkit

kehilangan yg dulu, bukan berarti tak bisa ditemukan sekarang..
aku khilangan teman, sahabat, saudara,
dan,
aku kehilanganmu,
berharap kembali tapi seperti tak ada jalan,
buntu

semakin dirimu nyenyak dalam bias fatamorgana padang pasir,
setelah kau reguk, tercampakkan pahitnya
atau sebaliknya
mereguk pahit dan mencampakkan setelahnya,
ternyata maknanya sama saja,

pasrahkan kehilangan, memang tak bisa kembali,
kecuali aku ingin



15 Nov 2010

Menulis, sebuah refleksi diri untuk mencipta sejarah

Menulis adalah suatu bentuk eksistensi peradaban yang amat sangat besar. Tulisan menjadi realisasi dan implementasi dari pengetahuan yang dimiliki oleh suatu peradaban. Tulisan mampu mengabarkan kejayaan dan kemajuan sebuah umat sekaligus menjadi motivasi besar perubahan peradaban menuju arah yang lebih baik. Tulisan meninggalkan sejarah yang selalu bisa dikaji kembali untuk memulai peradaban yang lebih baru lagi. Kejayaan peradaban dan pengetahuan Eropa yang kini telah jauh meninggalkan Islam, sebelum dulunya pernah dipegang oleh Islam, lebih banyak disebabkan oleh budaya membaca dan menulis yang telah luntur dari kaum muslimin.

Menulis menjadi suatu hal yang gampang-gampang susah. Ingat, bahwa ada dua gampang dan satu susah. Menjadi seorang penulis memang bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Namun pasti, menulis bisa dimulai dengan belajar dan membaca. Penulis yang baik dimulai dengan menjadi pembaca. Seorang penulis, hendaklah membaca baik teks maupun kentekstual untuk kemudian bisa mencurahkan hasil bacaannya menjadi tulisan dan bacaan baru yang realistis dan logis, sekalipun yang berupa tulisan fiksi.

Tulisan merupakan refleksi dari karakter dan watak penulisnya. Dari gaya kepenulisan dan isi ataupun materi tulisannya dapat dilihat bagaimana kepribadian bahkan lingkungan tinggal penulisnya. Tulisan-tulisan tentu memiliki tingkat kualitas, ada yang high, medium, bahkan yang di bawah garis kelayakan. Pesannya, Jangan sampai tulisan kita terlihat konyol dan membuat orang lain tertawa. Jangan membuat orang lain mengernyitkan dahi, bukan karena penasaran dengan tulisan kita, tapi karena bingung setengah mati. Apalagi jika sampai membuat orang jengkel dan marah karena tulisan acak kadul kita.

Menulis catatan, seperti diary misalnya, bukan sekedar bagaimana kita menuliskan kisah dari perjalanan kita sebagai tulisan biasa -bahkan mungkin luar biasa (buruk)- yang ditumpahkan kemudian tidak layak sama sekali untuk di baca. Tulisan sesederhana apapun, harus mampu menjadi kenangan yang suatu saat ingin kita baca dan ingin kita nikmati, bahkan layak kita publikasikan dan kita bagi pada orang lain. Maka saat itulah tulisan kita bekerja.

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
Menulis itu bukan hanya cukup dengan menyenangkan hati kita, memuaskan hasrat kita untuk mencurahkan uneg-uneg kita, tapi tujuan utamanya adalah untuk dibaca orang lain. Untuk memberi suatu manfaat bagi orang lain, baik sebagai hiburan, informasi, maupun pengetahuan. Menulis memiliki fungsi untuk menyeru pada kebaikan dan kemaslahatan umat.

Percaya diri menjadi salah satu kunci yang harus dimiliki penulis untuk berkarya. Percaya diri adalah modal utama untuk berani melangkah dan mengambil resiko agar mencapai sebuah pengakuan. Namun ternyata, banyak penulis muda yang melupakan bahwa kepercayaan diri dan eksistensi diri perlu di tunjang dengan kualitas. Mencapai kualitas unggul bagi penulis tentu bukan hal yang mudah. Namun untuk mengasahnya bukan juga hal yang teramat sulit. Belajar meningkatkan kualitas hingga meraih kualitas yang baik harus di ikhtiyarkan.

Menulis yang baik harus memerhatikan tema, isi tulisan dan materi yang akan disampaikan. Tak jarang, para penulis hebat nan tersohor melakukan berbagai macam riset untuk menguatkan nilai-nilai dalam tema tulisannya, demi menghidupkan tulisannya di tengah-tengah pembaca. Tulisan yang yang seperti ini mudah diterima oleh pembaca dan memiliki kesan mendalam di ingatan pembaca. Mereka menggali berbagai macam literatur yang memadai yang menjadikan tulisannya logis dan realistis. Usaha ini juga menjadi refleksi siapa dan bagaimana diri serta usaha penulis, tidak menjadi seorang penulis yang tidak bisa mempertanggungjawabkan tulisannya.

Kemudian dalam tata bahasa dan tata penulisan, harus juga memperhatikan misalnya, penulisan kalimat langsung, kata penghubung, kutipan, atau bahasa asing, harus ditulis dengan cara yang benar, agar tak hanya nikmat dibaca, tapi juga menjadi pembelajaran bagi pembaca yang nantinya ingin juga mengikuti jejak kita. Menulis tidak boleh asal memasukkan kata yang 'indah', namun juga logis dan serangkai dengan kata-kata yang lainnya. Hingga kata-kata tersebut mampu menjadi kalimat yang utuh dan bermakna. Bukan yang ambigu, atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Dari tulisan yang ilmiah bin serius, sampai tulisan ringan berupa catatan atau humor sekalipun, hendaknya ditulis dengan benar. Penulis-penulis senior sangat memperhatikan hal-hal kecil ini, hingga tak jarang menumpuk beragam kamus hanya agar tulisannya baik dan benar.

Menulis tidak selesai dengan merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat saja, ada proses editing, diskusi, pembandingan, dan beberapa kali pengoreksian oleh orang lain untuk meletakkan eksistensi karya kita di dunia tulis menulis. Masih banyak penulis yang hanya berorientasi pada tulisannya, tidak menimbang diri dengan penulis-penulis lain yang lebih senior. Pada faktanya memang, setiap pembaca memiliki penilaian berbeda pada setiap tulisan. masing-masing penulis memiliki tempat sendiri di hati pembacanya. Tidak perlu membandingkan antara satu penulis dengan penulis yang lain. Penulis ilmiah, berbeda dengan novelis maupun cerpenis. Penulis dengan gaya bahasa serius, maupun dengan bahasa yang santai memiliki tempatnya masing-masing di hati pembacanya. Namun ada satu kesamaan yang tidak boleh dibedakan, bahwa tulisan haruslah baik dan benar. Tulisan berisi kebenaran dan disampaikan dengan kondisi yang baik.

Menulislah yang membuat orang lain senang membacanya berulang-ulang, hingga dijadikan referensi, dijadikan contoh, dijadikan sebagai literature, dijadikan topik pembicaraan sana-sini, diceritakan ke banyak orang, dikutip oleh dia dan dia. Buatlah tulisan yang mampu melekat di hati dan ingatan pembaca, serta mampu menjadi sejarah yang akan terus dibaca berulang-ulang. Tulisan mampu menjadi karya yang abadi, baik secara fisik maupun isi. Meskipun ditulis oleh penulis muda.

Penulis harus seperti seorang fotografer, harus mampu mengambil angle yang unik bagi tulisannya agar orang lain merasa menemukan hal baru yang belum pernah dan yang tidak biasa ia baca. Sekalipun dengan topik yang sama, harus ada frame baru yang membuatnya berbeda. Sehingga sejarah akan tercatat dan orang lain akan meminjamnya sebagai pembaharuan, bukan plagiasi.

Kemudian yang tidak boleh dilupakan, marilah kita mengapresiasi tulisan dan karya-karya orang lain. Kita belajar mengungkap rasa suka atau tidak suka, agar kitapun bisa peka pada tulisan-tulisan yang baik, yang layak, dan yang disukai pembaca maupun yang tidak. Jangan hanya memaksakan diri untuk menulis dan menginginkan orang lain membacanya. Tapi buatlah bagaimana orang lain merasa senang dengan menulis dan sama-sama membangun kejayaan peradaban lewat tulisan, dengan mengapresiasi karya-karya mereka. Kemudian marilah kita menulis, merefleksikan diri dan menjadikannya tulisan yang bersejarah. Sesederhana apapun sejarah itu, minimal berkesan di hati kita sendiri.

Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Marilah kita bermanfaat melalui tulisan.

Terinspirasi oleh semangat juang aktivis LDK MKMI UTM..