Selasa, 03 Mei 2011

Usiamu..

Pernahkah dalam Isya'mu, di penghujung harimu untuk kemudian menutupnya dengan terlelap, kau minta pada Allah agar kau di beri kesempatan untuk menemui hari esok? Jawablah dalam hatimu.
Pernahkan dalam setiap desahan nafasmu, selalu terhembus dzikir? tanpa terputus? Lalu dalam doamu kau mintakan usia sedetik, dua detik, bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari bahkan bertahun-tahun ke depan?
Pasti jawabnya tidak.

Tapi, tanpa kau minta, Allah memberinya kan? Tanpa kau minta, Allah menluangkan kesempatan bagimu, dalam setiap detik-detik kehidupanmu, dan hanya dua saja hal yang diperintahnya, menjadi khalifah di bumi dan menjadi hamba yang beribadah kepadaNya. Ingatlah kau tak pernah minta, dan Allah memberinya.
Kesempatan itu hanya untuk satu, bukan untuk disiakan, namun untuk terus memperbaiki diri, hingga surga layak menantimu. Allah memberimu kesempatan untuk meperbaharui dirimu dengan kebaikan yang melayakkanmu mendapati surga, menjadi lebih baik dari masa lalumu.

Dan selama usiamu, terus diberi kesempatan itu, kau gunakan untuk apa?
padahal kau tahu pada hari hisab nanti, manusia tidak akan bergerak dari mahkamah Allah swt sehingga dikemukakan kepadanya lima pertanyaan: usiamu digunakan untuk apa, masa mudamu untuk apa kamu pergunakan, hartamu dari sumber mana kamu mendapatkannya, hartamu itu dimanakah kamu belanjakan, ilmumu apakah kamu telah mengamalkannya..

Senin, 02 Mei 2011

Aku - setengah fiksi


Aku. Begitu tiga huruf itu bertengger di dalam wordpad di hadapanku. Sudah berjam-jam lamanya aku masih menimbang-nimbang kata selanjutnya. Keringat sudah membasahi punggungku berjam-jam lalu. Desiran kipas angin di kamarku, seakan menjadi soundtrack suram di kepalaku. Kenapa otakku jadi serasa kaku? Apa ini benar-benar pekerjaan konyol? Duduk manis di depan komputerku dengan sebuah niatan tulus tapi rumit, "menulis".

Ide konyol ini semata-mata terinspirasi dari tulisan seorang sahabat dunia maya, tentang pengalaman luar biasa dalam catatannya, bertemu seorang penulis cantik yang juga adalah idolaku, menggelitikku untuk benar-benar going real menjadi penulis. Hehehe, sebenarnya aku tertawa dalam hati. “Sok banget udah nyebut diri penulis, padahal baru tiga huruf yang bisa diketik”. Tapi hati di sebelahnya berbisik juga, "tiga huruf, tulisan juga kan, tak apalah", hiburnya padaku. Dalam catatan itu, ini kata-kata paling menyindir egoku;  Dari Hasan Al Banna, “pemuda Islam harus seimbang antara menulis dengan membacanya.” Hanya gila membaca saja, itu mah ga’ keren. Aku merasa kekerenanku hilang seketika. Kalimat ini ditulis oleh seorang pejuang Islam tersohor, jadi benar-benar menghilangkan kekerenanku. Oh, aku jadi tak keren lagi. what's wrong?

Aku memang sering sekali bergaul dengan komputerku. Elektronik satu ini membuatku sangat menikmati kehidupan. Tapi tentu saja, yang kulakukan bukanlah pekerjaan yang biasa dilakukan Asma Nadia atau Habbiburrahman el Shirazy, menapaki karir mereka sebagai penulis. Komputerku menyimpan puluhangame yang biasa kumainkan berjam-jam. Pergaulanku dengannya adalah menyelesaikan misi-misi dari setiap level game yang sedang aku mainkan. Pekerjaan sambilanku di sela-sela mengejar musuh atau menunggu kue yang kumasak di game online-ku matang, aku hanyalah pemburu tulisan. Berbagai macam threat, berita, catatan, informasi, dan beragam tulisan lainnya menjadi konsumsiku, dari yang berjenis humor, ilmiah, hingga sastra. Berselancar di dunia maya benar-benar olahraga yang mengasyikkkan. Namun lagi-lagi kukatakan, aku penikmat, bukan produsen tulisan-tulisan itu.

Kali ini aku agak kesal. Kenapa juga harus kata "aku" yang bisa kutulis. Ini benar-benar hal paling narsis dalam hidupku. kata-kata pertama yang tercetus begitu saja, kenapa cuma tiga huruf, dan itu hanyalah sebuah bagian keangkuhan kurasa, betapa tokoh tulisan di dunia ini yang pantas diceritakan hanyalah aku. Ah, ini tidak benar, batinku lirih.
Lalu aku harus menulis apa?

Sebelum benar-benar meniatkan menulis, aku berdiskusi dulu dengan sahabat karibku. Ia adalah sahabat setia yang seringkali lebih mengenal diriku daripada aku sendiri. “bagaimana menurutmu jika aku menulis?” tanyaku ragu. Dalam hati aku takut ia menertawakanku. Dengan mata yang tiba-tiba berbinar, ia menepuk bahuku, “benarkah? Sudah kubilang kan sejak dulu, kamu punya kemampuan untuk menulis. Cobalah dengan cerpen yang sederhana. Aku yakin akan menjadi tulisan perdanamu yang bagus. Kamu punya bakat”

Kalimatnya begitu terngiang-ngiang di kepalaku. Mana sih bakat itu? Kuketok-ketok kepalaku dengan jari tengahku yang terlipat. Jangan-jangan kalimat itu hanyalah cibiran sahabatku itu. Aku terlalu percaya diri sepertinya. Sialnya, sudah sekian jam aku duduk mencari – cari kalimat selanjutnya. Apakah aku akan bangkit dengan sia-sia? Tanpa menuliskan satu kalimatpun? Bukankah aku sosok yang pantang menyerah? Kukejar level demi level dalam game-ku. Apakah menulis akan membuatku pernah menyerah, untuk pertama kalinya? Baru kurasakan sekarang, ternyata menulis memang bukan pekerjaan mudah.

Sebagai pembaca yang aktif, seringkali mudah bagiku untuk berkomentar sana sini tentang tulisan ini dan itu. Sekarang aku tahu, betapa menulis itu membutuhkan tenaga luar biasa. Butuh banyak konsekuensi, kerja keras dan pengorbanan. Ketika tulisan itu sudah mengalir misalnya, masih perlu ada tahap koreksi, apakah tulisan ini layak tampil atau tidak. Sayangnya aku benar-benar tidak bisa bersabar menanti hidayah untuk menulis. Seorang gamers  sepertiku hanya bisa bersabar dalam urusan menaikkan level dan menyelesaikan misi. Tapi bukan dalam pekerjaan satu ini, menulis.

Baiknya, kuucapkan selamat saja bagi para penulis yang telah berhasil menelurkan karya. Kalian memang orang-orang luar biasa yang sangat sabar menaklukkan pekerjaan ini. Benar-benar tak mudah untuk membuat tulisan, aku telah membuktikannya. Kalian orang-orang hebat. Biarkan saja aku menjadi penikmat tulisan semata, tak lagi menjadi komentator. Aku agak kecewa. Namun aku tetap tak berniat melanjutkan pekerjaan berat ini.

Tak lama, akhirnya, kutemukan juga kalimat selanjutnya untuk tulisanku. Aku, bukan penulis.

Surabaya 2008, diselesaikan pada 28 November 2011 di Mojokerto

senja

senjaku lelah menghalau kabut, di kaki langit yang sunyi
kaburkan pandangku di akhir tenggelamnya

kabut, mengawan merintikkan tetes demi tetes kesedihan,, hilangkan cantiknya senjaku
hilangkan cantiknya tak tertatap mataku..

dan akulah hujan itu,
merisaukan senja,, membuatnya tak jingga di ufuk sana
melelahkannya memancarkan rona..
berkabut, lalu aku turun menutupinya

maafkan hujan wahai senja.. kurisaukanmu.. tapi ku memasungmu,
ku takut cahyamu menyinari selainku..


Juli 2010