Kamis, 31 Januari 2013

Dua hari aku meringkuk di atas bed-ku. Aku sedang sakit, entah sakit apa yang dirasakan perutku ini. Tapi kusempatkan membuka-buka lembaran Menyimak Kicau Merajut Makna-nya bang Salim A. Fillah.  Dan kutemukan sebuah kisah yang begitu indah, kisah keteladanan yang lagi-lagi, tiada tandingannya. Dengan segenap hati aku bangun, dan ingin menuliskannya. Meski mungkin kisah ini sudah ada di milis-milis orang lain, aku tetap ingin mengenangnya lewat jemariku..

Sigapnya sang Pemimpin (Keteladanana Rasulullah, mendidik sahabat Sa'd ibn Abi Waqqash)

Suatu malam menjelang kedatangan pasukan Ahzab ke Madinah, demikian Sa’d ibn Abi Waqqash berkisah, keadaan demikian mencekam. Sungguh tepat apa yang digambarkan Allah; tak tetap lagi penglihatan kami dan hati serasa naik menyesak ke kerongkongan (Surat Al Ahzab ayat 10).

Malam itu aku terbangun dan ingat akan Rosulullah. Atas keinginanku sendiri aku beranjak, lalu berjaga di dekat kediaman beliau. Saat aku disana, Rasulullah bersabda dengan suara agak dikeraskan, “ Adakah lelaki shalih yang malam ini sudi menjaga kami?”

Maka aku segera menjawab, “Labbaika yaa Rasulullah! Di sini Sa’d ibn Abi Waqash berjaga untukmu. Sesungguhnya yang paling kusukai dari sabda beliau adalah kata-kata ‘lelaki shalih’. Semoga itu enjadi doa untukku.

Beliau keluar menemuiku dengan senyum tulusnya. Setelah memberikan arahan dan memesankan nasehat, beliau masuk kembali. Di larut itu, tiba-tiba kudengar bunyi keras menderu-deru dari ujung kota. Bergegas kunaiki kudaku dan kutuju arah asal suara. Aku memacu kudaku. Sampai di satu tempat gelap, dari arah berlawanan muncul bayangan penunggang kuda. Kusiapkan busur dan panahku. Ketika mendekat, aku terkesiap. Ternyata dia Rasulullah! Aku bertanya, “Darimana engkau, ya Nabi? Sungguh aku khawatir atas deru tadi! Aku khawatir pasukan musuh dalam jumlah besar datang untuk menyerang Madinah. Mohon pulanglah dan izinkan aku memeriksanya.”

Rasulullah tersenyum padaku dan bersabda, “Tenangkan dirimu hai Sa’d. Aku telah memeriksanya. Dan itu hanya suara angin gurun.

Aku terperangah, takjub dan malu. Aku, si peronda, telah didahului oleh sang Nabi yang kujaga dalam memeriksa kemungkinan bahaya.

Kisah Sa’d ini menjadi pembelajaran indah. Bahwa sang Nabi meminta dijaga bukan karena manja atau suka dilayani pengikutnya. Kesiagaan dan kegesitan beliau bahkan lebih tinggi dari pada Sa’d yang meronda. Permintaan dijaga itu ternyata pendidikan maknanya. Sungguh menakjubkan; pemimpin ini adalah pembawa kedamaian, tak Cuma dalam kata, tetapi dengan tindakan yang didasari ketulusan. Dan, kasih sayang agung yang membuat seluruh hidupnya terabdi untuk melayani, tak menghalangi beliau untuk mendidik sahabatnya.

Deikian sekelimut kisah, moga mengilhamkan kita untuk menjadi pembawa damai di hati oarang-orang yang kita pimpin.

Salim A. Fillah..

Masyaallah, yaa Rasulullah...!