Menjelang detik – detik peresmian jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), seperti menjelang detik – detik ijab qabul pasangan suami istri. Setelahnya, akan ada kehidupan baru bagi kedua pasangan, Surabaya dan Madura, yang dipersatukan oleh jembatan Suramadu. Kehidupan baru ini, memicu adanya perubahan sosial yang pasti terjadi, khususnya di sekitar jalur jembatan Suramadu. Perubahan sosial yang muncul dipastikan akan mempengaruhi banyak aspek – aspek kehidupan masyarakat sekitar jembatan Suramadu, khususnya Masyarakat Madura sebagai objeknya.
Tentu saja disini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Madura bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial ini merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat Madura sebagai reaksi adanya perubahan teknis kewilayahan akibat dari pembangunan jembatan Suramadu.
Kurt Lewin yang dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, mengenalkan konsep yang dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Sama halnya dengan yang sedang dihadapi masyarakat Madura yang mendapat tekanan, yaitu tekanan menghadapi fakta keberadaan Suramadu yang sangat disadari akan membawa banyak pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Madura sendiri. Namun, masyarakat Madura menanggapi driving forces sebagai pengaruh positif yang dapat dimanfaatkan untuk perubahan sosial ke arah positif pula. Masyarakat Madura justru mereduksi resistences to change, dengan menemukan peluang perbaikan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan peningkatan pelayanan kesehatan. Dengan adanya Suramadu diharapkan mampu mentransfer pola – pola kehidupan sosial penduduk Surabaya sebagai servis baru dalam pola kehidupan masayarakat Madura.
Dalam sebuah master plan yang dirancang untuk kedua wilayah jalur Suramadu, tergambar perubahan model tata ruang wilayah yang sangat signifikan. Digambarkan bahwa di kedua wilayah berubah menjadi pusat kehidupan dari wilayahmasing- masing, dengan jalan utama dan bangunan – bangunan utama yang menunjang segala kebutuhan dua wilayah tersebut. Gambar ini menunjukkan adanya reaksi terhadap perubahan sosial. Dalam hal ini perubahan sosial tidak muncul dengan sendirinya, melainkan memang direncanakan.
Masyarakat Madura menyadari sepenuhnya bahwa akan ada perubahan sosial, sehingga, diluar keterkaitan dengan master plan yang dimaksudkan, masyarakat madura juga telah merencanakan sendiri perubahan sosial tersebut. Masyarakat mulai mencari peluang dan menemukan kesempatan – kesempatan untuk memperbarui pola – pola kehidupan. Terlihat setelah diresmikannya Jembatan Suramadu, masyarakat berbondong – bondong membuka lapangan penghasilan disekitar jembatan Suramadu. Mengarah masuk ke Kota Bangkalan, juga mulai mucul berbagai fasilitas kemasyarakatan yang dibangun sebagai bentuk penerimaan terhadap adanya orang – orang baru dan investor yang nantinya akan mendatangi Madura. Telah muncul gerai fastfood, pasar induk yang diimplementasikan dari bentuk mall, cafe, dan bangunan – bangunan lain yang mengidentifikasikan kehidupan perkotaan seperti di Surabaya. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Madura akan banyak meniru pola kehidupan sosial masyarakat Surabaya, sebagai bentuk transfer, yang kini telah mudah, yaitu melalui Jembatan Suramadu.
Asumsi masyarakat adalah bahwa dengan adanya Jembatan suramadu tidak sekedar menghubungkan, melainkan telah menyatukan antara Surabaya dengan Madura. Sehingga sesuatu yang satu itu adalah sama. Masyarakat Madura yang notabene secara kultural maupun bahasa sangat berbeda dengan masyarakat Surabaya, nantinya akan menjalani proses perubahan sosial untuk menyamakan diri dengan masyarakat Surabaya, sebagai suatu hal yang satu. Mengapa bukan sebaliknya? Tentu kita menyadari, bahwa perubahan selalu terkait dengan arah yang positif dan maju, sehingga yang berubah itu adalah dari yang tradisional menuju modernisasi.
Menurut Max Weber dalam Berger (2004), bahwa, tindakan sosial atau aksi sosial (social action) tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Perubahan sosial yang diupayakan masyarakat Madura, diharapkan mengarah kepada arah yang positif, yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Peningkatan kualitas perekonomian, perbaikan mutu pendidikan, kelengkapan fasilitas kehidupan, serta kelayakan berkehidupan menjadi harapan yang digantungkan pada pemanfaatan jembatan Suramadu. Sudah barang tentu, perubahan sosial ini nantinya akan menyebabkan perubahan kultural, bahasa, dan moralitas.
Perubahan tersebut tidak selalu mengarah kepada hal yang positif sebagaimana yang diharapkan, sekalipun telah direncanakan. Khususnya perubahan moralitas, mengikuti modernisasi, dimana masyarakat modern Surabaya telah sangat dipengaruhi oleh modernisasi Barat. Perilaku – perilaku Barat telah menjadi tolak ukur, sekalipun banyak yang bertentangan dengan nilai ke-Timuran. Sehingga yang menjadi tantangan terberat bagi masyarakat Madura adalah bagaimana nantinya mengambil sari – sari kehidupan masyarakat Surabaya tanpa menghilangkan nilai moralitas dan kultural masyarakat Madura itu sendiri. Masyarakat Madura sebagai masyarakat yang agamis harus tetap menjaga nilai – nilai yang telah melekat, sekalipun nantinya perubahan telah benar – benar terjadi pada masyarakat Madura Pasca tejadinya transfer kehidupan sosial dari Surabaya menuju Madura melalui Jembatan Suramadu. Semoga Madura semakin maju dan modern. (UTM; 2009)
Artikel ini mengantarkanku terpilih sebagai Asisten Dosen dalam seleksi bersama dua peserta lainnya, pada semester ketiga kuliahku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar