Luar biasa penat yang kurasa. Teramat merana rasanya terhimpit sebuah permasalahan hidup yang berat, tanpa ditemani seorang temanpun yang hendak mendengarkan. Sudah pasti penuh bersesakan apa yang ada dalam pikiran. Berdesakan dan menciptakan gemuruh dalam hati yang seakan-akan menjadi sempit. Padahal secara medis, hati ini tetap saja seperti ukurannya semula. Yang terpikirkan sesaat adalah pergi. Melarikan diri dari semua permasalahan yang menghimpit. Seakan-akan semua itu menjadi solusi yang tepat, untuk membuatku lupa, pada penatku.
Seringkali itu benar, out of the box. Menarik diri dari kotak kehidupan yang biasa dijalani, kemudian melihat dengan jelas rupa kotak itu dari luar. Kadang itu bisa menampakkan seperti apa sebenarnya cara kita memperlakukan diri kita di dalam kotak itu. Tapi tentu saja itu tidak mudah bagi sebagian besar orang. Seringkali kita lebih mengasihani diri, menangis meraung-raung menyesali masalah dalam hidup sendiri, menyesali kesalahan di belakang sana, merasa menjadi makhluk paling malang yang perlu dikasihani dan diperhatikan, daripada harus bersusah payah bangkit dan keluar dari masalah. Terlebih jika masalah muncul ditengah-tengah kesibukan berbagai macam aktifitas, rasanya semua menjadi tiada artinya selain masalah yang sedang dihadapi. Alhasil, hak dan kewajiban yang lain harus rela dikorbankan dan dilalaikan juga.
Tapi aku ingin hal yang berbeda. Aku akan pilih jalan lain yang tak sama dengan paradigma pada umumnya. Mulanya akupun hanya seonggok gadis manja yang tersedu-sedu kala kepahitan hidup mengunjungiku. Namun waktu memberiku kesempatan untuk menjadi lebih bijaksana. Bukankah setiap orang pasti memiliki masalah. Setiap manusia tidak pernah benar-benar hanya melewati jalan tol yang katanya bebas hambatan, dalam hidupnya. Bahkan tol sekarangpun mengalami kemacetan dimana-mana. Adakalanya perlu melewati jalan tikus yang mempercepat perjalanan, atau jalan-jalan perbukitan yang indah yang viewnya tidak sedatar jalan tol.
Bukan hanya aku saja yang pantas dikasihani, banyak yang lebih berhak atas itu. Lagipula, tidak benar-benar ada yang akan mengsihaniku, karena aku terbiasa menikmati hidupku sendirian, tanpa merasa perlu membaginya dengan orang lain. Bukan aku angkuh dan merasa diriku kuat. Namun aku merasa tak berhak membebani perasaan orang lain dengan problematika hidupku, agar tak bertambah merasa bersalah, karena hanya mampu menyisakan cerita sedih hidupku dan tidak pernah benar-benar mampu membawa kebahagiaan bagi orang lain.
Masalah. Apa kata itu benar-benar harus dipermasalahkan? Kuyakinkan betul-betul pada diriku bahwa setiap orang pernah, akan, dan pasti mengalaminya. Dan bukan hal yang aneh jika melihat sebagian orang mampu mengatasinya hingga happy ending. Semua, lagi-lagi, bergantung pada bagaimana kita memperlakukannya, bagaimana kita memikirkannya, di tempat mana kita meletakkannya dalam hati. Di tempat sebesar gelaskah, atau di telaga yang luas. Aku selalu percaya, bahwa kebahagiaan dan perasaan senang datang karena penciptaan kita. Pun rasa sedih, terluka, sakit, dan kecewa, datang karena pikiran kita yang membawanya masuk dalam aliran darah kita. Menjadi darah tinggi, hipertensi,stroke, bahkan serangan jantung. Naudzubillah. Kuyakini prasangkaanku dengan sebuah hadits, “Prasangka Allah menurutkan prasangkaan hambanya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar