Rabu, 28 Desember 2011

Menulis, sebuah refleksi diri untuk mencipta sejarah

Menulis adalah suatu bentuk eksistensi peradaban yang amat sangat besar. Tulisan menjadi realisasi dan implementasi dari pengetahuan yang dimiliki oleh suatu peradaban. Tulisan mampu mengabarkan kejayaan dan kemajuan sebuah umat sekaligus menjadi motivasi besar perubahan peradaban menuju arah yang lebih baik. Tulisan meninggalkan sejarah yang selalu bisa dikaji kembali untuk memulai peradaban yang lebih baru lagi. Kejayaan peradaban dan pengetahuan Eropa yang kini telah jauh meninggalkan Islam, sebelum dulunya pernah dipegang oleh Islam, lebih banyak disebabkan oleh budaya membaca dan menulis yang telah luntur dari kaum muslimin.

Menulis menjadi suatu hal yang gampang-gampang susah. Ingat, bahwa ada dua gampang dan satu susah. Menjadi seorang penulis memang bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Namun pasti, menulis bisa dimulai dengan belajar dan membaca. Penulis yang baik dimulai dengan menjadi pembaca. Seorang penulis, hendaklah membaca baik teks maupun kentekstual untuk kemudian bisa mencurahkan hasil bacaannya menjadi tulisan dan bacaan baru yang realistis dan logis, sekalipun yang berupa tulisan fiksi.

Tulisan merupakan refleksi dari karakter dan watak penulisnya. Dari gaya kepenulisan dan isi ataupun materi tulisannya dapat dilihat bagaimana kepribadian bahkan lingkungan tinggal penulisnya. Tulisan-tulisan tentu memiliki tingkat kualitas, ada yang high, medium, bahkan yang di bawah garis kelayakan. Pesannya, Jangan sampai tulisan kita terlihat konyol dan membuat orang lain tertawa. Jangan membuat orang lain mengernyitkan dahi, bukan karena penasaran dengan tulisan kita, tapi karena bingung setengah mati. Apalagi jika sampai membuat orang jengkel dan marah karena tulisan acak kadul kita.

Menulis catatan, seperti diary misalnya, bukan sekedar bagaimana kita menuliskan kisah dari perjalanan kita sebagai tulisan biasa -bahkan mungkin luar biasa (buruk)- yang ditumpahkan kemudian tidak layak sama sekali untuk di baca. Tulisan sesederhana apapun, harus mampu menjadi kenangan yang suatu saat ingin kita baca dan ingin kita nikmati, bahkan layak kita publikasikan dan kita bagi pada orang lain. Maka saat itulah tulisan kita bekerja.

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat: 33)
Menulis itu bukan hanya cukup dengan menyenangkan hati kita, memuaskan hasrat kita untuk mencurahkan uneg-uneg kita, tapi tujuan utamanya adalah untuk dibaca orang lain. Untuk memberi suatu manfaat bagi orang lain, baik sebagai hiburan, informasi, maupun pengetahuan. Menulis memiliki fungsi untuk menyeru pada kebaikan dan kemaslahatan umat.

Percaya diri menjadi salah satu kunci yang harus dimiliki penulis untuk berkarya. Percaya diri adalah modal utama untuk berani melangkah dan mengambil resiko agar mencapai sebuah pengakuan. Namun ternyata, banyak penulis muda yang melupakan bahwa kepercayaan diri dan eksistensi diri perlu di tunjang dengan kualitas. Mencapai kualitas unggul bagi penulis tentu bukan hal yang mudah. Namun untuk mengasahnya bukan juga hal yang teramat sulit. Belajar meningkatkan kualitas hingga meraih kualitas yang baik harus di ikhtiyarkan.

Menulis yang baik harus memerhatikan tema, isi tulisan dan materi yang akan disampaikan. Tak jarang, para penulis hebat nan tersohor melakukan berbagai macam riset untuk menguatkan nilai-nilai dalam tema tulisannya, demi menghidupkan tulisannya di tengah-tengah pembaca. Tulisan yang yang seperti ini mudah diterima oleh pembaca dan memiliki kesan mendalam di ingatan pembaca. Mereka menggali berbagai macam literatur yang memadai yang menjadikan tulisannya logis dan realistis. Usaha ini juga menjadi refleksi siapa dan bagaimana diri serta usaha penulis, tidak menjadi seorang penulis yang tidak bisa mempertanggungjawabkan tulisannya.

Kemudian dalam tata bahasa dan tata penulisan, harus juga memperhatikan misalnya, penulisan kalimat langsung, kata penghubung, kutipan, atau bahasa asing, harus ditulis dengan cara yang benar, agar tak hanya nikmat dibaca, tapi juga menjadi pembelajaran bagi pembaca yang nantinya ingin juga mengikuti jejak kita. Menulis tidak boleh asal memasukkan kata yang 'indah', namun juga logis dan serangkai dengan kata-kata yang lainnya. Hingga kata-kata tersebut mampu menjadi kalimat yang utuh dan bermakna. Bukan yang ambigu, atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Dari tulisan yang ilmiah bin serius, sampai tulisan ringan berupa catatan atau humor sekalipun, hendaknya ditulis dengan benar. Penulis-penulis senior sangat memperhatikan hal-hal kecil ini, hingga tak jarang menumpuk beragam kamus hanya agar tulisannya baik dan benar.

Menulis tidak selesai dengan merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat saja, ada proses editing, diskusi, pembandingan, dan beberapa kali pengoreksian oleh orang lain untuk meletakkan eksistensi karya kita di dunia tulis menulis. Masih banyak penulis yang hanya berorientasi pada tulisannya, tidak menimbang diri dengan penulis-penulis lain yang lebih senior. Pada faktanya memang, setiap pembaca memiliki penilaian berbeda pada setiap tulisan. masing-masing penulis memiliki tempat sendiri di hati pembacanya. Tidak perlu membandingkan antara satu penulis dengan penulis yang lain. Penulis ilmiah, berbeda dengan novelis maupun cerpenis. Penulis dengan gaya bahasa serius, maupun dengan bahasa yang santai memiliki tempatnya masing-masing di hati pembacanya. Namun ada satu kesamaan yang tidak boleh dibedakan, bahwa tulisan haruslah baik dan benar. Tulisan berisi kebenaran dan disampaikan dengan kondisi yang baik.

Menulislah yang membuat orang lain senang membacanya berulang-ulang, hingga dijadikan referensi, dijadikan contoh, dijadikan sebagai literature, dijadikan topik pembicaraan sana-sini, diceritakan ke banyak orang, dikutip oleh dia dan dia. Buatlah tulisan yang mampu melekat di hati dan ingatan pembaca, serta mampu menjadi sejarah yang akan terus dibaca berulang-ulang. Tulisan mampu menjadi karya yang abadi, baik secara fisik maupun isi. Meskipun ditulis oleh penulis muda.

Penulis harus seperti seorang fotografer, harus mampu mengambil angle yang unik bagi tulisannya agar orang lain merasa menemukan hal baru yang belum pernah dan yang tidak biasa ia baca. Sekalipun dengan topik yang sama, harus ada frame baru yang membuatnya berbeda. Sehingga sejarah akan tercatat dan orang lain akan meminjamnya sebagai pembaharuan, bukan plagiasi.

Kemudian yang tidak boleh dilupakan, marilah kita mengapresiasi tulisan dan karya-karya orang lain. Kita belajar mengungkap rasa suka atau tidak suka, agar kitapun bisa peka pada tulisan-tulisan yang baik, yang layak, dan yang disukai pembaca maupun yang tidak. Jangan hanya memaksakan diri untuk menulis dan menginginkan orang lain membacanya. Tapi buatlah bagaimana orang lain merasa senang dengan menulis dan sama-sama membangun kejayaan peradaban lewat tulisan, dengan mengapresiasi karya-karya mereka. Kemudian marilah kita menulis, merefleksikan diri dan menjadikannya tulisan yang bersejarah. Sesederhana apapun sejarah itu, minimal berkesan di hati kita sendiri.

Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Marilah kita bermanfaat melalui tulisan.

Terinspirasi oleh semangat juang aktivis LDK MKMI UTM..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar