Sabtu, 31 Desember 2011

Tentangku, Jika kau Ingin tahu

Melanjutkan sedikit saja tentang profilku. Rencananya menjadi satu file saja di bagian nama kemarin, tapi ternyata malah menemukan artikel lain yang pas untuk dicantumkan. Sedikit saja, supaya aku lebih dikenal, hehehe.

Nama panjangku Yuliana Setia Rahayu. Di keluarga aku dikenal dengan nama Liana. Di kalangan teman aku dipanggil Yuli. Aku lahir di kota Dompu, kota yang disekelilingnya adalah gunung batu. Meskipun pedesaan, kota ini tak begitu asri pada musim kemarau. Sangat berdebu dan gersang. Namun di musim penghujan, akan sangat hijau dan sejuk. Air disana selalu dingin, sejak pagi, hingga malam. Itu jadi alasan tepat aku malas mandi, hihihi. Dari Surabaya, perjalanan ke Dompu ditempuh selama 36 jam menggunakan bus. Lama sekali ya? Tapi perjalanan ini akan sangat menyenangkan dengan berbagai macam view. Nanti akan kuceritakan pemandangannya di lain case.
Ini wilayah Donggo, Bima, NTB. Tapi beginilah kira-kira Dompu jika gersang. Masih satu kepulauan.
Meski sudah ada RSUD di Dompu, ibuku melahirkan ke-5 anaknya di rumah, tapi dengan bantuan dokter atau bidan. Keren banget ibuku, zaman susah aja udah bisa panggil dokter ke rumah. Jadilah kami berlima memang anak gunung batu asli. Rumahku memang tepat berada di bawah kaki gunung batu, sebuah gunung mati di kelurahan Dorongao. Dorongao sendiri artinya gunung kucing. Karena di sana banyak sekali berkeliran kucing, sampai-sampai nama kelurahan tempat tinggalku disebut gunung kucing. Mungkin ini juga yang melatarbelakangi aku dan keempat saudaraku ditambah ibu, sangat menggilai kucing. Kecuali bapak, kami sekeluarga selalu bisa akrab dengan kucing-kucing peliharaan kami.
Keempat saudaraku dengan kucing peliharaan kami


Ibuku, si bungsu, dan kucing-kucing tersayang
Dorongao yang kupotret September 2011. Rumah sebelah kanan itu dulunya milik orang tuaku.
Akupun termasuk yang lahir di rumah, pada 10 Januari 1991. Tahun ini, tahun-tahun booming-nya Telenovela berjudul Sinha Moca (Little Missy) keluaran Brazil, yang di dalamnya ada sahabat si tokoh utama bernama Juliana. Gara-gara tuh film namaku keluarnya jadi Yuliana, meski ada sedikit perbedaan ejaan. Tahun-tahun itu yang namanya televisi juga belum merajalela seperti sekarang. Hanya ada satu dua rumah saja yang memilikinya, apalagi untuk ukuran desa. Alhamdulillah keluargaku yang termasuk memilikinya. Eits, tapi tak selalu menguntungkan ya. Saking booming-nya film Little Missy ini, setiap hari tetangga ibuku berjubel di rumah untuk melihatnya. Tak sampai disitu, ibuku jadi sering kehilangan isi jemurannya, karena kalau pulang, ibu-ibu tetangga suka bawa oleh-oleh (seperti yang dituturkan ibuku).

Di usiaku yang ke-4, aku masuk sekolah TK, nama TKnya seingatku TK Bhayangkara, di kota Dompu. Namun tak sampai selesai aku di sana, karena aku memang anak nakal yang tak mau pergi sekolah. Bahkan pernah suatu ketika selama 1 bulan aku tak masuk. Kenakalanku tak sampai disitu, di sekolah aku termasuk jahil. Pernah sekali kubuat menangis temanku karena iseng menekuk jari kelingkingnya. Maksudku ingin uji coba, sakit atau tidak sih, kebiasaan orang-orang melipat dan dan membunyikan tulang-tulang jarinya. Walhasil uang sakuku yang Rp 50,- kupersembahkan untuk mendiamkan tangis temanku, hehehe. Kalau diingat-ingat temanku itu mata duitan ya, mudah aja disogok. Kenakalan lainnya juga terjadi ketika bersama-sama teman lain membohongi anak baru yang culun banget. Ceritanya, si anak baru suka sekali memenuhi buku gambarnya dengan corat-coret abstrak yang tak terdefinisi, sampai habis lembarannya untuk hari berikutnya. Aku dan teman-temanku malah menyemangati dan berbohong kalau gambarnya bagus. padahal sebenarnya kami sedang mengoloknya. Wah, nakal sekali aku.

Tak sampai setahun di sekolah TK, aku diajak bapakku berkunjung ke rumah nenek di Surabaya dan tak pernah kembali ke tanah kelahiranku lagi. Aku tinggal dan besar di Surabaya sampai usiaku yang sekarang. Sesekali saja aku berlibur, tapi tak pernah benar-benar menetap di sana. Ada sejarah panjang tentang kepindahanku, lain waktu akan kuceritakan. Habislah masa kanakku di tanah Jawa, di kota metropolitan yang megah. Oleh bule' yang mengasuhku, adik bungsu bapak, aku di sekolahkan di SD Darussalam. Sebuah SD di dalam perkampungan Pesapen yang berbasis NU. Disini aku belajar tak hanya ilmu umum, tapi juga ilmu agama. Sekolahku ini meski di kota termasuk sekolah yang kecil, tempatnya saja di dalam sebuah gang. Sekolah ini juga mulai sepi dan sedikit siswanya, tak seramai zamanku dulu. Kabar terakhir yang kudapat, sekolah ini hampir tutup. Hal ini terjadi mungkin karena pengurus yayasan dan gurunya banyak yang beralih ke sekolah-sekolah negeri. Bahkan pernah kutemui wali kelas 1 ku yang sabar, pindah mengajar di SD Negeri. Seingatku dulu, guru-guruku kebanyakan memang tenaga honorer. Bahkan wali kelas enamku, bu Lika, pernah masuk surat kabar, sedang berdemo untuk kemudahan pengangkatan bagi-bagi guru-guru sekolah swasta. Nasib SDku jadi seperti kisah sekolahnya Ikal di Laskar Pelangi ya.

Meski kecil, guru-guru di sekolahku sangat hebat. Aku tak pernah lupa bagaimana guru-guru yang hebat itu sangat sabar mengajar, memberi tambahan pelajaran sampai tambahan uang jajan pada murid-muridnya. Masa sih? Ini berlaku hanya padaku lho, karena aku termasuk murid kesayangan ibu-ibu guru. Pernah suatu ketika aku liburan kenaikan kelas 3, aku hendak liburan ke Dompu, untuk pertama kalinya setelah tak pernah bertemu ibuku, Bu Zahroh, wakil kepala sekolahku, memberiku uang jajan dengan menangis dan mencium pipiku sambil berpesan, "hati-hati di jalan ya." Aku yang masih ingusan hanya mengangguk saja. Waktu itupun bu Zahroh yang sebenarnya arah rumahnya berlawanan dengan rumahku mengantarku pulang, karena khawatir. Memang, di antara teman-temanku, hanya aku yang rumahnya paling jauh dan kala itu sedang terjadi kerusuhan besar. Ingatkan masa reformasi 1998? Dimana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana orang merasa khawatir dan tidak tenang. Pun Surabaya, di kampung-kampung sering terjadi perampokan di toko-toko warga keturunan Tionghoa, sekan-akan kejahatan menjadi halal sejak itu.

Lain bu Zahroh, lain Bu Min. Beliau wali kelasku di kelas 3 dan 4. Dialah ibu keduaku. Setiap kali pulang sekolah, beliau selalu menggandeng tanganku sampai persimpangan jalan antara rumahku dengan rumah beliau. Orang-orang yang selalu kulewati rumahnya, berangkat dan pulang sekolah sampai mengira aku adalah anak beliau. Selain pintar, aku juga tidak pernah nakal di sekolah. Mungkin karena di negeri orang, aku tak pernah senakal masa TKku dulu. Terakhir kali, aku bertemu bu Min di mall dekat rumahku, beliau meski terlihat lebih tua, masih cantik dan sebaik dulu.

Di kelas 4, aku sangat suka pelajaran bahasa Inggris yang diajar guru cantik bernama bu Atik Selain cantik beliau pintar sekali, namun sedikit galak. Bahasa Inggris pertama kali dikenalkan padaku pada kelas 4, bersamaan dengan pelajaran komputer, yang waktu itu masih dikenalkan pada program DOS, menyimpan data menggunakan disket yang sangat lebar. Aku sangat pandai dalam dua pelajaran ini, makanya aku sangat menyukainya. Aku ingat bagaimana sayangnya guru bahasa Inggrisku padaku. Kala mengajar di kelas 4, di akhir triwulan, guruku itu sudah hamil tua dan cuti. Tahun berikutnya bahasa Inggris di ajar guru baru yang lebih cantik lagi, namanya miss Ana. Beliau tidak mau dipanggil ibu atau mom, karena masih muda dan belum menikah katanya. Setelah aku lulus, beberapa tahun mengajar, beliau menikah dengan kepala sekolahku, sebagai istri kedua.

Entah kapan pak Rokhim wafat, aku lupa. Tapi kenangannya sebagai guru agama di kelas 4 dan 5 sangat berkesan. Beliau sangat lucu, dan sangat suka menggangguku. Entah rayuan macam apa saja yang beliau lancarkan padaku, aku tak terlalu ingat, tapi beliau tak pernah lupa menyebut namaku ketika mengajar.

Di SD dulu, yang paling aku suka adalah pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan fiqih. Karena itulah, untuk pelajaran-pelajaran itu nilaiku paling bagus di antara pelajaran lainnya. Pelajaran paling menjemukan adalah ke-NU-an. Pelajaran satu itu diajar langsung oleh kepala sekolahku yang menjadi salah satu pengurus inti PCNU Surabaya kala itu. Pelajaran ini berisi sejarah NU, dari tokoh, tanggal-tanggal, hingga badan organisasi naungan NU yang berjibun. Di kelasku, hanya Umar yang menguasainya, nilai ujiannya tertinggi, 65, semaksimal itulah perjuangan kelasku untuk pelajaran ini. Di SD dulu, aku tak pernah keluar dari 4 besar, paling sering di ranking 2 dan 3. Juara umumnya adalah temanku yang berambut pirang, Umar Al-Faruq yang cerdas. Terakhir bertemu, dia penghuni SMAN 2 Surabaya, salah satu SMA Favorit di Surabaya.

Prestasiku di SD tak banyak, juara menggambar, juara lomba Agustus-an sekolah, dirigen sekolah untuk upacara, menjadi finalis mewakili sekolah dalam lomba nasyid SD Ma'arif se-Surabaya, dan mungkin ada sedikit prestasi lain yang tak bisa lagi kuingat. Satu hal, menjadi murid kesayangan setiap guru di sana adalah juga prestasi kebanggaan yang tak terlupa.

Aku rindu guru-guru SDku, suatu saat aku ingin bertemu guru-guruku lagi. Juga melihat sekolah dan teman-teman SD yang rata-rata rumahnya tak jauh dari sana.

Ini masih profil di SD ya. Perjalanan masih panjang ya ternyata. Aku curhat seperti anak kemarin sore. Tapi biarlah, aku sedang ingin menulis ini. Mengenang masa kecilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar