Gegar Budaya
Gegar
budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba
berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya
ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda
dan lambing-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat
tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan
dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak
dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk
kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau
norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil.
Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua
petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan
kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama
mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan
mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan
terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan
berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi
sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotip dengan cara
negatif. Misalnya, “Orang-orang Amerika Latin yang malas” “Orang
Indonesia yang anarkis”, dsb. Pernah ada seorang
Belanda dan beberapa orang Jepang yang mengalami kasus serupa ketika
berkunjung ke Indonesia, mereka sama-sama mengalami diare akibat memakan
masakan Indonesia. Mereka hanya bisa menerima makanan dari
restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz, Pizza Huts, dll,
atau restorant Jepang. Orang Belanda tersebut langsung melakukan stereotip bahwa makanan di Indonesia kurang higenis.
Sojourneys dan Settlers
Ada
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang
mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti
yang dikatakan oleh Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman
kontak dengan budaya lain berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda.
Settlers berada daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat
barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun
kesementaraannya bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai pelajar
asing dalam beberapa tahun.
Definisi Culture Shock
Istilah
culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama
Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang
mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang
familiar dalam hubungan social, termasuk didalamnya seribu satu cara
yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk
memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita
tidak perlu merespon.
Banyak
definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika
kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami
seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana
nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya
sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai
benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan
faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang
yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya
berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama
baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang
Australia yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di
rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar kamar
mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk
besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya
berupa ruang kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar
lantainya. Orang tersebut mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa
dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan shower serta air hangat.
Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa kurang
nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang
ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan
pasangan homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih
tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di
Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas
mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan
umum pun tidak dianggap suatu perbuatan memalukan.
Reaksi pada culture shock
Reaksi
terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu
lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang
mungkin terjasi, antara lain:
- antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
- rasa kehilangan arah
- rasa penolakan
- gangguan lambung dan sakit kepala
- homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
- rindu pada teman dan keluarga
- merasa kehilangan status dan pengaruh
- menarik diri
- menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)
Meskipun
ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan
jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa
orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.
Fase optimistic,
fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva
U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural,
fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang,
misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru,
dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan.
Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan
tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah
tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan
menjadi tidak kompeten.
Fase recovery,
fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada
tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam
caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam
lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian,
fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci
dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi,
keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda,
biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa
hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut,
seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan
memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa
gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang
berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan
mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus
bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele,
reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya,
keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.
Derajat
gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang
yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang
berhasi menyesuaikan diri dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga
memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan
barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama yang
disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6
bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih
bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa.
Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam
hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif
terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam
menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan
transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak menghiraukan kesulitan
mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan
teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi,
adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju
ke kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak
lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai salah penduduk
pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai
menanggulanginya, “ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada
tahap keempat, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai
menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam
lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada
ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya
ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah memahami negeri
pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke kampung
halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan
dirindukan.
dikutip di: http://luciatriedyana.wordpress.com/2009/04/23/culture-shock/
Tak
disangka, pengumuman SNM-PTN 2008 megharuskan aku mengenal Pulau Madura. Pulau
ini sebenarnya tak terlalu asing bagiku. Semasa SMA aku pernah bertandang ke
pulau garam ini. Bahkan semasa kecil pernah berlibur kesini. Tak terkecuali
dengan Kampus Universitas Trunojoyo, aku pun pernah mampir dan berkeliling.
Namun
perjalannanku yang singkat tidak membuatku terlalu mengenal pulau kerapan sapi
ini. Hanya sepintas lalu terlihat tanahnya yang kering dan sedikit merah. Juga
beberapa wilayah yang hijau, dan sebagian yang lain justru gersang. Pengenalan
singkat ini tidak cukup untuk membuatku betah di Madura. Setelah pengumuman
SNM-PTN yang menyatakan aku diterima di Universitas Trunojoyo Madura (UTM), aku
bergegas menyiapkan diri untuk boyongan ke Madura. Aku memilih kos di wilayah
sekitar kampus. Hari – hari mengenal Madura dimulai.
Panas Madura yang menyengat berbeda
dengan panas Surabaya,
khususnya daerah rumahku. Di tepian jalan yang hanya ditumbuhi rumput dan bunga
liar, hanya panas yang bisa dirasa, tanpa ada pepohonan sedikitpun. Meskipun
persawahan masih luas terbentang, tetap saja kehijauannya terkalahkan oleh
sinar matahari yang langsung menyentuh kulit, tanpa ada peneduh sedikitpun.
Seketika kulit yang terbuka menghitam setelah beberapa jam saja berada di luar
ruangan. Ini yang membuat hati sangat kenes. Perawatan ini itu ingin dijalani
agar kulit bisa kembali seperti semula, sayangnya saku anak kos hanya cukup
untuk keperluan kuliah. Sementara selama di SMA aku tidak pernah berbedak, selama kuliah jadi
harus memakainya untuk menutup kulit wajah yang hitam dan kusam.
Beda panas, beda lagi dengan hujan.
Musim yang mulai berganti semakin mengenalkan sosok Madura yang sebenarnya.
Ketika hujan, tanah yang mulanya keras dan terbelah – belah ketika panas, menjadi
rapat dan becek bukan main. Selain licin, tanah ini sangat lembek sehingga kaki
mudah terjebak. Sungguh sulit memahami tanah Madura. Kalau sudah demikian,
sepatu harus sering dicuci, tapi tentu saja sulit kering karena mendung lebih
sering dating disbanding panas matahari.
Sementara dengan masyarakat Madura,
agak sulit bagiku untuk beradaptasi, karena karakter personal dan gaya bahasanya berbeda.
Ketika tidak mengerti apa yang disampaikan teman – teman dari Madura, aku
meminta penjelasan, sekaligus belajar mengerti bahasa Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar